Dalam sepekan terakhir ini, salah satu kasus yang
menyita perhatian masyarakat adalah ihwal ditundanya vonis MA atas Akbar
Tandjung, terpidana korupsi dana non-budgeter Bulog senilai 40 miliar. Kasus ini sebetulnya mencuat pada era
kepemimpinan Gus Dur, yang berarti sudah lebih dari satu tahun.Sepekan
sebelumnya, musyawarah majelis hakim kasasi kasus Akbar Tandjung belum mencapai
kesepakatan. Musyawarah pun ditunda. Menurut Paulus Effendi Lotulung, salah
seorang hakim agung dalam kasus ini, musyawarah bisa dilakukan beberapa kali.
“Jika tidak terjadi kesepakatan dalam musyawarah, dilakukan voting,” ujarnya.
Setidaknya
hingga tulisan ini dibuat, vonis MA atas Ketua DPR RI itu masih belum keluar.
Yang pasti, kalaupun ia dinyatakan bersalah, para pengacaranya telah
mempersiapkan langkah-langkah hukum baru. Ini berarti, peradilan terhadap Ketua Partai
Golkar ini—yang sudah sekian lama berlangsung—akan semakin lama. Ujung-ujungnya
bisa ditebak, kasus ini akan semakin buram, seburam wajah peradilan Indonesia
selama ini.
Tulisan
ini tentu tidak ingin terlibat lebih jauh mengomentari kasus ini. Sebab, kasus
ini hanyalah secuil kasus dari setumpuk kasus sejenis, terutama ketika yang
menjadi terpidana atau terdakwa adalah para pejabat, penguasa, pengusaha
berduit, atau mereka yang memiliki kedekatan dengan pejabat dan penguasa.
Ribuan, bahkan puluhan ribu kasus, masih menumpuk di Mahkamah Agung, yang
mungkin tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mengapa? Sebab, setiap bulannya,
ketika sejumlah kasus belum dituntaskan, telah muncul sejumlah kasus baru.
Demikian seterusnya hingga saat ini.
Yang
menjadi pertanyaan: Mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa di Indonesia
khususnya dan umumnya di negara-negara sekular, hukum seolah begitu mudah
dipermainkan oleh mereka yang punya ‘power' —baik kekuasaan,
kedekatan, ataupun uang? Mengapa ribuan bahkan puluhan ribu kasus di pengadilan
cenderung berlarut-larut dan tidak pernah bisa diselesaikan dengan tuntas,
bahkan cenderung semakin menumpuk? Apa akar penyebabnya? Bagaimana pula solusi
fundamental dan praktis untuk mengatasi semua ini?
Bermula dari Sistem
Siapapun yang jujur menilai akan melihat dengan jelas, bahwa carut-marutnya dunia peradilan di Tanah Air khususnya dan di negara-negara sekular pada umumnya, bukan sekadar disebabkan oleh faktor manusianya; baik hakim, jaksa, atau pengacara. Banyaknya hakim, jaksa, atau pengacara ‘busuk' sebetulnya hanyalah akibat—bukan sebab —dari ‘busuk'-nya sistem peradilan kita. Buktinya, meski ada sejumlah hakim, jaksa, atau pengacara yang mungkin dipandang jujur dan bermoral, toh mereka sering terbentur dengan ‘tembok tebal' sistem peradilan yang ada (yang memang bobrok) ketika mereka berniat menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Artinya, inti persoalannya bermula dari sistem peradilan sekular yang memang memiliki banyak kelemahan yang bersifat sistemik. Kelemahan sistemik ini tentu bermula dari kelemahan fundamental, yakni sekularisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum. Padahal, akal manusia memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan dalam menentukan hakikat baik-buruknya sesuatu.
Siapapun yang jujur menilai akan melihat dengan jelas, bahwa carut-marutnya dunia peradilan di Tanah Air khususnya dan di negara-negara sekular pada umumnya, bukan sekadar disebabkan oleh faktor manusianya; baik hakim, jaksa, atau pengacara. Banyaknya hakim, jaksa, atau pengacara ‘busuk' sebetulnya hanyalah akibat—bukan sebab —dari ‘busuk'-nya sistem peradilan kita. Buktinya, meski ada sejumlah hakim, jaksa, atau pengacara yang mungkin dipandang jujur dan bermoral, toh mereka sering terbentur dengan ‘tembok tebal' sistem peradilan yang ada (yang memang bobrok) ketika mereka berniat menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Artinya, inti persoalannya bermula dari sistem peradilan sekular yang memang memiliki banyak kelemahan yang bersifat sistemik. Kelemahan sistemik ini tentu bermula dari kelemahan fundamental, yakni sekularisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum. Padahal, akal manusia memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan dalam menentukan hakikat baik-buruknya sesuatu.
Sekilas Sistem Pengadilan Sekular
Di negara-negara sekular, sebagaimana halnya di Indonesia, susunan kekuasaan pengadilan adalah: Pertama , Pengadilan Sipil, yang terdiri dari Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung dan Pengadilan Khusus (Pengadilan Agama, Pengadilan Adat, dan Pengadilan Administrasi Negara. Kedua , Pengadilan Militer (Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara Agung).
Di negara-negara sekular, sebagaimana halnya di Indonesia, susunan kekuasaan pengadilan adalah: Pertama , Pengadilan Sipil, yang terdiri dari Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung dan Pengadilan Khusus (Pengadilan Agama, Pengadilan Adat, dan Pengadilan Administrasi Negara. Kedua , Pengadilan Militer (Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara Agung).
Perkara-perkara
di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung biasanya
diadili oleh satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Sedangkan
untuk perkara summier (perkara ringan, seperti kasus tilang) diadili
oleh seorang hakim (tunggal). Keputusan diambil melalui musyawarah—jika tidak
tercapai mufakat maka putusan diambil dengan suara terbanyak; jika masih belum
berhasil, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan
bagi terdakwa.
Adanya
kekuasan pengadilan yang bertingkat-tingkat inilah yang memungkinkan adanya
peluang banding atau kasasi dalam satu kasus peradilan. Inilah yang kemudian
menjadi faktor utama berlarut-larutnya suatu kasus di pengadilan, bukan hanya
berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.
Di
samping itu, keberadaan para pengacara dan para jaksa dengan berbagai
tingkatannya, yang tidak jarang menjadikan hukum hanya sebagai alat untuk
mencari kekayaan, adalah faktor lain yang menambah ruwetnya dunia peradilan
kita saat ini.
Sekilas Sistem Pengadilan Islam
Peradilan dalam Islam ada tiga macam. Masing-masing berhubungan dengan:
Peradilan dalam Islam ada tiga macam. Masing-masing berhubungan dengan:
1. Qâdhî (biasa), yaitu hakim yang mengurusi penyelesaian
perkara sengketa di tengah masyarakat dalam hal muamalat (transaksi yang
dilakukan antar dua orang/pihak) dan ‘uqûbât (sanksi hukum). Semua
proses pengadilan hanya sah jika dilakukan di majelis (ruang) pengadilan d an
harus ada pihak penuntut dan yang dituntut.
2. Qâdhî Hisbah/Muhtasib, yaitu hakim yang mengurusi perkara
penyimpangan yang bisa membahayakan hak-hak masyarakat, seperti adanya
kecurangan dalam jual-beli, pelanggaran di tempat-tempat umum, dsb. Dalam
menjalankan tugasnya ia didampingi oleh beberapa polisi. Pengadilan hisbah ini
tidak memerlukan ruang sidang pengadilan, tidak perlu penuntut dan yang
dituntut, melainkan semata karena ada hak umum yang telah dilanggar. Dengan
begitu, keputusan/vonis bisa dijatuhkan secara cepat saat itu juga.
3. Qâdhi Mazhâlim, adalah hakim yang diangkat untuk menyelesaikan
setiap tindak kezaliman yang merugikan negara atau kezaliman yang dilakukan
oleh negara (penguasa, aparat, dan pegawai negara) terhadap individu warga
negara.
Sementara
itu, berkaitan dengan sistem putusan, dalam pengadilan Islam, vonis hanya
dijatuhkan oleh seorang qâdhî (hakim). Dalam siding, ia boleh
didampingi oleh satu atau lebih hakim lain, tetapi mereka hanya berhak memberi
masukan, sementara keputusan tetap berada di tangan hakim ketua sesuai dengan
hasil ijtihadnya. Putusan ini merupakan hukum syariat atas kasus tersebut. Ia
tidak bisa dibatalkan oleh siapapun kecuali jika bertentangan dengan nash-nash
yang qath‘î (tegas) atau dengan hukum yang diadopsi oleh kepala negara
(khalifah). Keputusan yang hanya ada di tangan satu hakim tentu akan mencegah
terjadinya perdebatan alot di antara para hakim sebagaimana sering terjadi
dalam sistem pengadilan sekular.
Di
samping itu, karena keputusan hakim bersifat mutlak alias tidak bisa diganggu
gugat oleh siapapun, dalam sistem pengadilan Islam tidak ada istilah pengadilan
banding ataupun kasasi. Ketiadaan sistem banding atau kasasi ini tentu akan
mencegah terjadinya penumpukan dan berlarut-larutnya kasus sebagaimana lumrah
terjadi dalam sistem pengadilan sekular.
Mencegah ‘Mafia' Peradilan
Tidak dipungkiri, di samping sistem peradilan yang memiliki banyak kelemahan, banyaknya ‘mafia' peradilan, yang dengan mudah mempermainkan hukum, adalah faktor lain yang bersifat sampingan yang semakin menambah carut-marutnya dunia peradilan kita saat ini. Banyaknya ‘mafia' peradilan ini sebetulnya lebih karena faktor uang (baca: suap-menyuap). Bagaimana mencegahnya?
Tidak dipungkiri, di samping sistem peradilan yang memiliki banyak kelemahan, banyaknya ‘mafia' peradilan, yang dengan mudah mempermainkan hukum, adalah faktor lain yang bersifat sampingan yang semakin menambah carut-marutnya dunia peradilan kita saat ini. Banyaknya ‘mafia' peradilan ini sebetulnya lebih karena faktor uang (baca: suap-menyuap). Bagaimana mencegahnya?
Islam
memberikan setidaknya 3 (tiga) langkah pencegahan: Pertama,
menumbuhkan ketakwaan individual di tengah-tengah masyarakat. Caranya, penguasa
mendidik warga negaranya dengan pendidikan Islam, dan berupaya
menumbuh-suburkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat. Sebab, dalam Islam,
salah satu fungsi penguasa adalah menjaga akidah umat. Dengan banyaknya orang
yang bertakwa, tentu akan sedikit orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum,
termasuk suap-menyuap. Dalam sistem sekular seperti sekarang, dimana kebanyakan
orang tidak bertakwa, suap-menyuap justru menjadi budaya.
Kedua, mendorong berfungsinya kontrol sosial di
tengah-tengah masyarakat. Caranya, penguasa menciptakan iklim yang kondusif
bagi terselenggaranya amar makruf nahi mungkar, terutama terhadap para pejabat
negara. Mereka yang kritis terhadap kebijakan atau perilaku para
pejabat—termasuk kepala negara—yang menyimpang dari syariat Islam harus dilindungi
dan diberikan penghargaan, bukan malah diintimidasi dan dikucilkan. Dalam
sistem sekular seperti sekarang, dimana kontrol sosial tidak berjalan, para
pejabat dan aparat pengadilan yang melanggar hukum justru tidak malu dan takut
lagi oleh masyarakat, karena masyarakatnya cenderung tak acuh. Masyarakat baru
berani menghakimi maling ayam ketimbang ‘menghakimi' para pejabat yang
mengkorupsi triliunan uang rakyat atau para hakim yang menipu mereka.
Ketiga, membangun sistem peradilan yang
tangguh dan tidak mudah diintervensi. Sistem peradilan yang dimaksud tentu saja
yang berasal dari Zat Pencipta manusia, yang telah menjadikan al-Quran dan
as-Sunnah sebagai sumber hukum untuk mengadili manusia. Artinya, sistem
peradilan yang dibangun hendaklah sistem peradilan Islam yang berlandaskan
al-Quran dan as-Sunnah. Sebab, berbeda dengan manusia, Allah Swt. tentu tidak
memiliki kepentingan atau interest apapun dalam mengadili manusia
melalui hukum-hukum-Nya, selain ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia itu
sendiri. Sebaliknya, dalam sistem sekular seperti sekarang, dimana hukum
dihasilkan oleh mereka yang duduk di parlemen (yang kebanyakan lebih
mementingkan diri dan partainya ketimbang rakyat kebanyakan), hukum akhirnya
menjadi ‘barang dagangan' yang memungkinkan terjadinya tawar-menawar. Itulah
bukti nyata dari bobroknya hukum buatan manusia.
Walhasil, Mahabenar Allah Yang berfirman:
Apakah
hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik
dibandingkan dengan hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]:
50).
0 Response to "AGAR HUKUM TAK DIPERMAINKAN"
Posting Komentar