Pembicaraan publik tentang hubungan agama dan negara
kembali mencuat. Kompas (28-29/5/99) secara khusus mengungkap pandangan
mengenai hubungan agama dan negara dari beberapa partai politik peserta pemilu
(PKU, Golkar, PBB, PKB, PAN, dan PK).
Asnawi Latief,
Sekjen PKU, menyatakan bahwa hubungan agama dan negara sudah selesai dan tak
ada masalah. Indonesia
bukan negara agama, bukan pula negara sekuler, melainkan negara Ketuhanan,
katanya. Sementara Slamet Effendy Yusuf, ketua partai Golkar,
berpendapat bahwa nilai substansial dari agama harus tercermin dalam
keseluruhan pengelolaan negara, tanpa harus menjadikan Indonesia
sebagai negara agama. Senada dengan ini, adalah pernyataan Wakil Sekjen PAN, Hasballah
M.Saad. Katanya, negara itu tidak mempunyai agama, tetapi warga negara
punya agama. (Kompas, 28-29/5/1999).
Berbeda dari mereka, adalah pendapat Dr. HM. Hidayat
Nur Wahid (PK) dan H. Ahmad Sumargono (PBB). Menurut Hidayat,
ungkapan Indonesia
bukan negara agama dan bukan negara sekuler mengandung ambivalen dan
kontraproduktif. Ungkapan ini menafikan faktor agama dalam kehidupan bernegara,
seolah-olah nilai agama boleh dipinggirkan. Sedang Sumargono menyatakan, dalam
Islam, agama dan negara tak bisa dipisahkan. (Ibid., 28-29/5/99).
Yang tampak paling kontroversial adalah pandangan Dr.
Alwi Shihab, Ketua PKB. Mengacu kepada pendapat Ali Abdur Raziq,
pengarang kitab Al Islam wa Ushulul Hukm, Alwi berpandangan, pertama,
Nabi Muhammad SAW tidak diperintahkan membentuk negara, dan otoritasnya pun
hanya di bidang spiritual saja. Kedua, Islam tidak mencanangkan sistem
negara tertentu, apakah itu monarki, republik, atau apa pun. Ketiga,
bentuk pemerintahan yang didirikan setelah wafatnya Nabi SAW (Khilafah) tidak
memiliki landasan doktrin, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan pragmatis
saja, yang kemudian baru dinyatakan legitimate dari segi doktrin. Keempat,
dalam sejarah Islam, pemerintahan yang diberi legitimasi agama (yaitu Khilafah,
yang menurutnya seharusnya tidak ada!) bertanggung jawab atas lahirnya tirani.
(Ibid., 29/5/99)
Umat mungkin bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya
hubungan agama dan negara dalam pandangan Islam? Siapa itu Ali Abdur Raziq yang
pendapatnya diadopsi oleh Alwi Shihab? Tulisan ini mencoba menguraikannya.
Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam
Setidaknya terdapat tiga pandangan hubungan
agama-negara, sesuai dengan ketiga ideologi yang ada di dunia dewasa ini;
Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam,.
Pertama,
agama tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara. Sebab agama
dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagaikan candu bagi masyarakat. Agama
dipandang sebagai ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi
dengan penguasa borjuis, dengan tujuan untuk meninabobokkan rakyat sehingga
rakyat lebih mudah ditindas dan dieksploitir. Agama dianggap khayalan, karena
berhubungan dengan hal-hal gaib yang non-empirik. Segala sesuatu yang ada,
dalam pandangan ini, adalah benda (materi) belaka. Inilah pandangan ideologi
Sosialisme yang telah diadopsi oleh negara-negara sosialis seperti Uni Soviet,
RRC, dan sebagainya.
Kedua,
agama terpisah dari negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi hanya
menolak peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi
antara manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi
individu, tetapi tidak menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, seperti peraturan untuk sistem pemerintahan, sistem ekonomi,
sistem sosial, dan sebagainya. Pandangan ini dikenal dengan Sekularisme, yang
menjadi asas ideologi Kapitalisme yang dianut negara-negara Barat seperti
Amerika Serikat dan Eropa serta negara-negara lain pengikut mereka.
Ketiga,
agama tidak terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan,
termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Agama bukan sekedar urusan
pribadi atau ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur
bagi seluruh interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik
interaksi manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia
yang satu dengan manusia yang lain. Keberadaan negara bahkan dipandang sebagai
syarat mutlak agar seluruh peraturan agama dapat diterapkan. Inilah pandangan
ideologi Islam, yang pernah diterapkan sejak Rasulullah SAW berhijrah dan
menjadi kepala negara Islam di Madinah hingga hancurnya Khilafah Utsmaniyah di
Turki tahun 1924. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Nizhamul Islam,
hal. 24-26; juga Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufur,
hal. 39-40).
Islam adalah agama yang telah sempurna lagipula
menjelaskan segala sesuatu. Artinya, Islam telah menjangkau dan menerangkan
peraturan untuk semua perbuatan manusia dalam segala aspek kehidupannya, secara
sempurna dan menyeluruh, termasuk di dalamnya aspek kenegaraan. Allah SWT
berfirman :"Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama
kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam
itu menjadi agama bagi kalian." (QS. Al Maa`idah 3)
Allah SWT berfirman : "Dan Kami turunkan
kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS.
An Nahl 89).
Walhasil, Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan
satu pun perbuatan manusia, apalagi aspek kenegaraan yang sangat berpengaruh
atas masyarakat luas. Mengatakan Islam tidak punya konsep negara, sama saja
menganggap Islam tidak sempurna. Tentu saja, kesempurnaan Islam tidak berarti
semua hukum-hukumnya sudah tersedia secara instan seperti ensiklopedi atau buku
pintar, sehingga tinggal diterapkan begitu saja. Tidak demikian, sebab
terkadang Islam menjelaskan suatu perbuatan dengan nash Al Qur`an dan As
Sunnah, dan terkadang dengan menetapkan amaarah (tanda/isyarat) dalam Al
Qur`an dan As Sunnah yang menunjukkan suatu status hukum. Untuk yang kedua ini,
kaum muslimin tidak bisa hanya berpangku tangan, tetapi harus mengerahkan daya
pikir untuk berijtihad guna mengetahui hukum-hukumnya (Lihat Abdul
Qadim Zallum, idem, hal. 32-33).
Berdasarkan keyakinan akan kesempurnaan Islam itu,
wajarlah jika para ulama yang terpercaya menyusun formulasi hubungan
agama-negara secara tepat, yakni sebagai satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Abdul Qadir 'Audah, misalnya, menerangkan bahwa Islam
adalah agama yang menyeluruh, yang di dalamnya tercakup aspek kenegaraan.
Beliau mengatakan : "Islam itu bukanlah sekedar agama (ritual) belaka,
akan tetapi ia adalah agama dan (di antaranya adalah) negara. Dan sudah menjadi
tabi'at agama Islam, bahwa dia itu mempunyai negara untuk melaksanakan
Islam..." (Lihat Abdul Qadir 'Audah, Al Islam wa
Audla'una As Siyasiyah, hal. 19)
Muhammad Al Ghazali menjelaskan hubungan erat agama-negara dengan mengatakan : "Islam
tanpa negara adalah bagaikan pohon tanpa buah, atau bagaikan tubuh tanpa
nyawa." (Lihat M Al Ghazali, Ma'rakat Al Mushhaf, hal.
68)
Sementara itu Imam Al Ghazali menyatakan bahwa
agama dan kekuasaan (baca:negara), adalah bagaikan saudara kembar, serta saling
membutuhkan satu sama lain. Jadi, keduanya tak terpisahkan. Beliau mengatakan :
"...Oleh karena itu, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah
bagaikan dua saudara kembar. Dikatakan pula, bahwa agama adalah pondasi (asas)
dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan
runtuh, sedang segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap."
(Lihat Imam Al Ghazali, Al Iqtishad fil I'tiqad, hal. 199)
Selain itu, tak sedikit ulama yang menerangkan, bahwa
keberadaan negara Islam sangatlah mutlak demi terlaksananya beranekaragam hukum
yang memang tak akan dapat berjalan tanpa negara, seperti ahkam jina`iyah
(sanksi-sanksi pidana) misalnya qishash, ahkam maaliyah (aspek keuangan
dan perekonomian) misalnya pengumpulan dan pendistribusian zakat, ahkam
dauliyah (hubungan internasional) misalnya jihad dan cabang-cabang hukumnya
seperti pembagian ghanimah dan penebusan tawanan perang, dan ahkam dusturiah
(aspek pemerintahan) misalnya hak dan kewajiban dari penguasa dan rakyat. Muhammad
bin Al Mubarak, misalnya, berkata : "Al Qur`an mengandung
hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara
(Islam), yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu...Maka sesungguhnya
mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan, adalah
bagian substansial dari ajaran Islam. Islam tak akan tegak sempurna tanpa
negara dan bahkan keislaman kaum muslimin pun tak akan sempurna tanpa
negara." (Muhammad bin Al Mubarak, Al Hukmu wa Ad Daulah,
hal. 11)
Demikianlah sekelumit pandangan ulama yang
mengungkapkan hubungan agama-negara menurut Islam. Jelas bahwa agama (Islam)
memang tidak terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan,
termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Dengan kata lain, hubungan
agama dan negara, adalah hubungan keseluruhan dengan sebagian dari keseluruhan
itu. Namun kedudukan negara berbeda dengan bagian-bagian lain dari ajaran
Islam. Kedudukan negara dipandang sangat urgen, karena pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam secara total, bertumpu pada keberadaan institusi negara.
Karenanya, keberadaan negara merupakan syarat mutlak dan esensial, agar seluruh
peraturan Islam dapat diterapkan secara kaffah tanpa mengecualikan yang satu
dari lainnya.
Sejalan dengan pandangan di atas, maka sudah sewajarnya
dan bahkan sudah seharusnya, bila Islam mewajibkan eksistensi negara yang
bertugas menerapkan Islam secara total. Inilah negara Islam, atau dalam
khazanah hukum Islam, dikenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. Dalam
hal ini, seluruh ulama di sepanjang jaman telah sepakat bahwa mengangkat
seorang Khalifah atau mendirikan Khilafah, adalah suatu kewajiban. Hanya
segelintir saja yang mengatakan tidak wajib, dan itu pun dianggap sebagai
pendapat yang tidak mu'tabar (tidak perlu dianggap), karena bertentangan
dengan nash-nash syara'.
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri dalam kitabnya Al
Fiqh 'Ala Al
Madzahib Al Arba'ah, juz 5, halaman 614 menegaskan : "Para imam (yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan
Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu,
dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan
menegakkan syi'ar-syi'ar agama, dan menolong orang-orang yang
dizhalimi..."
Bahkan kewajiban Khilafah tersebut bukan saja pegangan
kaum Ahlus Sunnah, melainkan juga golongan-golongan lain. Imam Ibnu Hazm
mengatakan : "Seluruh golongan Ahlus Sunnah, Murji`ah, Syi'ah, dan
Khawarij telah sepakat mengenai kewajiban Imamah, dan bahwa umat wajib
mentaati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan memimpin mereka
dengan hukum-hukum syari'at yang dibawa oleh Rasulullah SAW..." (Lihat
Ibnu Hazm, Al Fashlu fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, juz 4, hal.
87)
Di antara segelintir orang yang menolak kewajiban
Khilafah, misalnya An Najdaat dari golongan Khawarij, dan Al Asham. Tapi
orang-orang semacam ini oleh Imam Al Qurthubi dianggap orang yang tuli
dari syari'ah, yakni tidak mau mendengar kebenaran dari syari'at. Imam Al
Qurthubi berkata : "Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya
perkara itu (yakni, kewajiban Khilafah) baik di antara umat maupun di antara
para imam, kecuali pendapat Al Asham --yang tuli (Arab: "asham"=tuli)
terhadap syari'at-- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti
pendapatnya." (Lihat Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,
juz 1, hal. 264)
Jelas, bahwa mendirikan negara Islam (Khilafah/Imamah)
merupakan suatu kewajiban yang telah disepakati ulama di segala jaman (lihat Ensiklopedi
Ijmak, Sa'di Abu Habieb, Terj. KH. A. Sahal Machfudz & H.A.
Musthofa Bisri, Kata Pengantar KH. Abdurrahman Wahid, Pustaka
Firdaus, hal. 312). Dan ini, merupakan bukti pula betapa erat dan padunya
hubungan agama dengan negara. Agama dan negara tidak terpisahkan dalam Islam!
Pendapat Yang Batil
Berdasarkan uraian sebelumnya, kiranya kita dapat
menilai dan memaklumi sejauh mana kualitas dan validitas dari
pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh PKU, Golkar, PBB, PKB, PAN, dan PK di atas.
Pendapat Dr. HM. Hidayat Nur Wahid (PK) dan Ahmad Sumargono (PBB), boleh dikata
relatif "Islami", terbebas dari polusi ideologi Kapitalisme yang
sekularistik itu. Sayang, kedua tokoh itu belum secara tuntas mengartikulasikan
tipologi negara ideal yang menjadi cita-cita mereka. Tidak tegas menyebut
Khilafah.
Pernyataan Asnawi Latief (PKU) bahwa Indonesia bukan
negara agama, bukan pula negara sekuler sebenarnya terjebak oleh tipologi
negara yang dibuat oleh Barat, yakni seolah tipe negara cuma theokrasi dan
demokrasi. Konsep negara theokrasi di Eropa --yang intinya adalah mendapatkan
legitimasi dari Tuhan namun hukum dibuat oleh para tokoh gereja sendiri--
memang tidak bisa dibenarkan. Namun mengidentikkan negara Khilafah Islamiyyah
sebagai theokrasi adalah kesalahan lain. Padahal Negara Khilafah Islamiyyah
bukan theokrasi dan bukan demokrasi. Oleh karena itu, pernyataan tokoh PKU
tersebut --disadari atau tidak-- bisa jatuh pada pengingkaran terhadap
kewajiban Khilafah dalam Islam. Padahal beliau adalah tokoh partai dengan basis
massa NU yang
mengaku Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Ahlus Sunnah itu tidak pernah mengingkari
kewajiban Khilafah (lihat Sa'di Abu Habieb, idem).
Pernyataan Slamet Effendy Yusuf (Partai Golkar) dan
Hasballah M. Saad (PAN) setali tiga uang. Sama-sama sekularistik, menolak peran
agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sangat disayangkan, kedua
partai yang pendukungnya mayoritas muslim itu --disadari atau tidak-- kok
malah menggiring massanya kepada ideologi Sekularisme!
Yang membuat kita geleng-geleng kepala adalah pendapat
Alwi Shihab (PKB), yang mengambil pendapat Ali Abdur Raziq dalam kitabnya Al
Islam wa Ushulul Hukm, yang sebenarnya ditulis demi kepentingan penjajah
Inggris pada PD I untuk menghancurkan Khilafah. Kitab sekularistik itu ditulis
antara 1915-1918 oleh Ali Abdur Raziq, yang selain seorang hakim peradilan
agama Mesir, juga anggota partai Hizbul Ahraar Ad Dusturiyin (berdiri
1915). Partai ini adalah kepanjangan tangan partai Hizbul Ummah,
yang dibentuk 1907 berdasarkan arahan penjajah Inggris melalui kaki tangannya, Lord
Kromer (lihat Ismail Al Kailani, Fashluddin 'anid Daulah, Bab
2 Pasal 2).
Pada saat meletus PD I (1914), Khilafah Utsmaniyah
berada pada pihak yang berperang melawan Inggris. Sementara di sisi lain,
Inggris masih menjajah Mesir. Inggris takut, bila Mesir akan membantu Khilafah,
karena Mesir masih memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan Khilafah di
Turki. Karena itu, Inggris berkepentingan untuk memutus habis ikatan antara
Mesir dan Turki, sebagai langkah awal untuk menghancurkan Khilafah. Maka demi
kepentingan Inggris yang kafir ini, tak heran bila dalam kitabnya Ali Abdur
Raziq menganggap Khilafah itu sangat tidak sesuai dengan Islam, tidak memiliki
landasan doktrin, hanya isapan jempol dan karangan ulama belaka, bahkan harus
dibatalkan dan dihancurkan.
Dalam kitab itu Ali Abdur Raziq menuduh bahwa para
ulama tidak tahu apa-apa tentang politik dan pemerintahan. Sebaliknya dia malah
menunjukkan kekaguman yang sangat terhadap para orientalis yang kafir, seperti Thomas
W. Arnold (Inggris).
Mereka yang mendalami kitab itu akan insyaf, bahwa
asumsi dasar yang dipakai Ali Abdur Raziq, adalah asumsi yang bersumber dari
agama Nashrani, yang memang secara ajaran telah memisahkan aspek agama dan
negara, sesuai dengan bunyi Al Kitab (kitab suci mereka): "Berikanlah
apa yang menjadi milik kaisar kepada kaisar, dan apa yang menjadi milik Tuhan
kepada Tuhan." (Matius 22:21)
Khatimah
Jelaslah bahwa hubungan antara agama dengan negara
dalam pandangan Islam adalah sangat erat. Bahkan hukum-hukum tentang
ketatanegaraan adalah bagian dari ajaran Islam yang paling esensial dan
penting. Dan sifat Rasululullah saw. (yakni risalah Islam) sebagai
"Rahmatan lil Alamin" tak mungkin terwujud secara sempurna tanpa
penerapan hukum-hukum Islam secara keseluruhan oleh negara Khilafah Islamiyyah
yang sistemnya telah disunnahkan oleh Nabi Muhammad saw. (khilafah 'ala
minhaaj an nubuwwah, lihat Musnad Imam Ahmad, hadits nomor 17680 dan
22335).
Oleh karena itu, setiap pendapat yang melepaskan hubungan
antara agama Islam dengan negara (penerap sistemnya) adalah tidak wajar jika
keluar dari seorang muslim, apalagi tokoh umat Islam. Sebab hal itu
bertentangan dengan firman Allah SWT, Sunnah Nabi SAW, ijma' sahabat, serta
kesepakatan para ulama kaum muslimin dari masa ke masa!
Na'uudzu billahi min dzaalik!
0 Response to "AGAMA DAN NEGARA"
Posting Komentar