AGAR MEMERANGI KORUPSI TAK SEBATAS JARGON


Indonesia telah memasuki tahun keenam era reformasi; era yang dimulai dengan cita-cita pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme (KKN). Namun, hari-hari ini kita justru menyaksikan bahwa penyakit KKN justru makin menyebar dan menjadi-jadi. Baru saja kita menyaksikan berbagai hal yang bisa jadi saling berhubungan: kasus korupsi di BNI dengan nilai 1,7 triliun rupiah-yang ternyata kemudian juga diikuti bank pelat merah lainnya yang baru saja go public (yaitu BRI); kasus jual-beli quota haji di wilayah kewenangan Depag; dan kasus “tarif” untuk calon legislatif untuk nomor-nomor jadi yang bernilai hingga ratusan juta rupiah.
Itu hanya segelintir kasus saja. Sebab, kita melihat bahwa korupsi telah dilakukan hampir di segala sektor dan di semua level status sosial. Jika korupsi-dengan nilai hanya beberapa puluh ribu rupiah-dilakukan oleh petugas rendahan di lapangan, mungkin sebagian orang akan masih mencoba memaklumi bahwa gaji petugas itu terlalu rendah. Namun, bagaimana dengan korupsi yang justru dilakukan oleh pejabat tinggi atau eksekutif yang sudah digaji puluhan juta rupiah perbulan?
Korupsi agaknya juga tidak lagi merupakan persoalan moral individu, namun sudah menjadi persoalan kolektif. Budaya malu yang telah hilang di satu sisi dan justru budaya hedonis yang mengemuka di sisi lain adalah contoh perubahan sikap kolektif yang ada di masyarakat. Sementara itu, sistem yang ada justru sering menjadi perangkap bagi aparat maupun bagi masyarakat untuk “mau tak mau” harus bekerjasama–dalam berkorupsi. Masyarakat butuh pelayanan yang cepat dan bermutu sementara aparat butuh uang. Akibatnya, terjadilah lingkar kemerosotan yang semakin cepat. Pejabat yang korup akan cenderung merusak sistem, yaitu membuat agar pada masa depan, sistem makin menguntungkan diri dan kelompoknya lagi (sehingga praktik menjarah uang rakyat akan semakin “legal”), atau setidaknya akan menghalangi perbaikan sistem. Kalau untuk meraih cita-citanya ini mereka perlu “melobi” DPR agar terkesan “demokratis”, membiayai LSM agar terkesan “independen”, membayar media massa agar terkesan “populer”, bahkan menyumbang masjid atau menghajikan tokoh agama agar terkesan “peduli sosial”–maka itu akan mereka lakukan. Dana yang diperlukan untuk itu tentu saja hasil korupsi juga. Tidak aneh, riset yang dilakukan berbagai lembaga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.

Korupsi Perlu Diperangi Secara Terpadu                           
Melihat fenomena yang begitu kompleks ini, korupsi jelas tidak mungkin lagi diatasi hanya dengan perbaikan ahlak individu. Banyak orang yang menangis ketika mendengarkan nasihat atau seruan ahlak yang menyentuh, namun ketika kembali pada jabatan atau proyek-proyeknya, mereka merasa bahwa korupsi itu sah-sah saja. Kesalihan ritual sama sekali tak sanggup lagi mencegah seseorang untuk korupsi. Seorang birokrat yang telah naik haji berkali-kali bahkan tanpa sungkan berseloroh, “Haji itu tugas agama, korupsi tugas negara.”
Karena penyebab korupsi ada pada individu yang tidak amanah, lingkungan budaya yang tidak kondusif, dan sistem yang tidak cukup menggiring orang untuk menjadi baik, maka berarti perang terhadap korupsi harus dilakukan secara terpadu di tiga lini ini sekaligus. Dari tiga lini ini, yang paling strategis dan mempunyai pengaruh terbesar adalah perbaikan sistem.


Perbaikan Sistem dengan Syariat Islam
Syariat Islam memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak korupsi, antara lain: Pertama, sistem penggajian yang layak. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Agar tenang bekerja dan tak mudah tergoda, kepada mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang layak. Rasul bersabda: Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak memiliki kendaraan hendaknya diberi... Siapapun mengambil selainnya, ia telah berbuat curang atau pencuri. (HR Abu Dawud).
Kedua, larangan menerima hadiah. Hadiah–atau sering dinyatakan sebagai “hibah”–yang diberikan kepada aparat pemerintah pasti bermaksud agar aparat itu menguntungkan pemberi hadiah. Tentang hadiah kepada aparat, Rasul bersabda: Hakim, jika memakan hadiah, maka dia telah memakan barang haram, dan jika menerima suap, maka dia telah jatuh pada kekufuran. (HR an-Nasa’i).
Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat. Mereka bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Untuk menghindari tindakan curang, perhitungan kekayaan para pejabat harus dilakukan di awal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik yang sebenarnya efektif mencegah aparat berbuat curang. Akan tetapi, anehnya cara ini justru ditentang untuk dimasukkan ke dalam perundang-undangan.
Keempat, penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit dan tidak rasional akan membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan akuntabilitas, dan membuka peluang korupsi. Demikian juga dengan prosedur hukum yang diskriminatif, misalnya memeriksa pejabat tinggi atau anggota DPR harus seizin kepala negara. Akibatnya, tidak jarang jika korupsi menyentuh lapisan elit itu, penyidikan biasanya terhenti. Dalam Islam, aturan yang membedakan pejabat tinggi dari rakyat biasa ini tidak dikenal.
Kelima, hukuman setimpal. Secara naluriah, orang akan takut menerima risiko yang tidak sebanding dengan apa yang diperolehnya. Risiko dalam bentuk hukuman berfungsi sebagai pencegah. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zîr, yaitu hakim bisa mencari bentuk hukuman yang diperkirakan paling efektif bagi kasus tersebut, misalnya berupa tasyhîr (pewartaan), penyitaan harta, pemecatan, kurungan, kerja paksa, sampai hukuman mati.

Perbaikan Budaya dengan Syariat Islam
Sistem hanya akan efektif diterapkan jika budaya masyarakat mendukung. Karena itu, syariat Islam juga memberikan panduan tentang bagaimana agar budaya yang rusak saat ini bisa diperbaiki.
Pertama, teladan pemimpin. Khalifah Umar bin al-Khaththab menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, pemberantasan tindak korupsi jadi mudah. Mereka juga akan lebih siap memilih orang-orang bersih untuk menjadi polisi, jaksa, atau hakim, karena tak takut akan terseret sendiri.
Kedua, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat hedonis yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat. Sebaliknya, masyarakat yang mulia dan kritis akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar bin al-Khaththab di awal pemerintahannya pernah menyatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”
Dalam bahasa sekarang itu bisa berarti pers (media) dan LSM dipersilakan lebar-lebar untuk mengawasi perilaku atau gaya hidup para pejabat atau calon pejabat. Namun, di sisi lain media dilarang untuk menjadi alat propaganda gaya hidup instan, hedonis, dan konsumtif yang akan kontraproduktif pada upaya-upaya pemberantasan korupsi.
 
Perbaikan Individu dengan Ketakwaan
Mungkin ada pertanyaan, mengapa ketika pada masa Khilafah dulu, atau ketika syariat Islam diterapkan pada masa lalu masih juga ada korupsi, seperti perilaku sejumlah Khalifah Bani Umayah, Abassiyah, atau Utsmaniyah yang korup?
Perlu diingat bahwa manusia bukanlah malaikat atau para nabi yang maksum dan terhindar dari maksiat. Hawa nafsu mereka dan setan masih akan selalu menggodanya. Hanya saja, godaan itu akan minimal ketika budaya dan sistemnya lebih kondusif bagi prestasi, bukan korupsi. Orang yang ingin korupsi akan malu pada masyarakat yang telah menolak hal itu secara kolektif. Lagipula, jika sistem yang berlaku sudah cukup rasional maka baik kebutuhan maupun peluang untuk korupsi akan bisa ditekan ke level minimal. Hal seperti ini bisa diamati di beberapa negara maju seperti di Skandinavia.
Namun tentu saja, tak hanya pada masa Khilafah, bahkan pada masa Rasul pun, masih ada orang-orang yang tetap melanggar lingkungan budaya dan sistem yang berlaku. Yang bisa mengontrol mereka hanya diri mereka sendiri. Di sinilah pentingnya peran komitmen diri atau dalam Islam disebut ketakwaan. Takwa adalah buah pendidikan islami sejak kanak-kanak dan ibadah ritual yang dikerjakan masing-masing.
Di sisi lain, ketika budaya dan sistem tidak kondusif seperti sekarang, ketakwaan individu ini pulalah yang membuat segelintir pejabat tetap tidak korupsi, sekalipun peluang banyak atau andaikata mereka korupsi pun akan “dimaklumi”. Tidak, mereka tidak korupsi bukan karena malu kepada manusia, atau takut sanksi pidana–karena toh saat ini dua hal ini praktis tidak efektif, namun karena malu dan takut kepada Allah.

Agar Tak Sebatas Jargon
Kalau pada “zaman edan” seperti sekarang pejabat yang tidak korupsi adalah minoritas, kita ingin berupaya agar pada masa depan mereka itu mayoritas. Mungkin mayoritas ini bukan dari awal karena dorongan ketakwaannya, namun karena desakan budaya dan paksaan sistem. Namun, yang penting roda digulirkan dulu, sambil pelan-pelan membentuk ketakwaan individu yang akan lebih permanen.
Syariat Islam, jika diterapkan secara terpadu, akan mampu menghasilkan sistem dan budaya yang kondusif untuk mengatasi korupsi dan problematika lain negeri ini. Percayalah, dengan pola hidup bersih tanpa korupsi dan menegakkan syariah Islam, kehidupan pejabat maupun rakyat akan diliputi keberkahan.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. al-A'râf [7]: 96)
Di sinilah urgensitas seruan penerapan syariat Islam. Hanya dengan itulah, upaya memerangi korupsi benar-benar real, tidak berhenti sebatas jargon! Wallâhu a‘lam.
Lebih dari 25.000 kaum Muslim di kota Bam, Iran meninggal dunia akibat gempa Bumi.
Innâlillâhi wa innâ ilaihi rooji’ûn

0 Response to "AGAR MEMERANGI KORUPSI TAK SEBATAS JARGON"