Soal:
Apakah Islam mengenal kontrak sosial dalam
hubungan rakyat dengan penguasa?
Jawab:
Dalam
sistem pemerintahan sekular, kekuasaan negara terbagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep
ini dikenal dengan trias politica. Trias politica menganggap
bahwa kekuasan-kekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang
sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Ide
pemisahan ini, menurut Montesqieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan
politik yang tidak akan terwujud, kecuali jika terdapat keamanan masyarakat di
dalam negeri. Ia berpendapat bahwa seseorang cenderung akan mendominasi
kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat apabila kekuasa itu terpusat di
tangannya. Karena itu, harus ada pemisahan kekuasaan.
Dari
pemikiran tersebut disusunlah suatu transaksi (kontrak) antara penguasa dan
rakyat, yang bisa menjauhkan penguasa memanfaatkan kekuasaannya secara arogan
dan sewenang-wenang. Rakyat diposisikan dalam lembaga legislatif, yang memiliki
otoritas mutlak membuat UU dan berbagai peraturan, termasuk GBHN yang harus
dilaksanakan oleh kepala lembaga eksekutif (Presiden dan sejenisnya). Jika
pihak eksekutif melanggar atau melalaikannya, ada lembaga yudikatif yang akan
mengadilinya. Jika dianggap perlu, pihak legislatif akan memberhentikannya dan
menggantinya dengan orang lain. Ini sesuai dengan paradigma dalam sistem
sekular bahwa kedaulatan yang tertinggi ada di tangan rakyat, bukan di tangan
penguasa (eksekutif).
Dengan
demikian, hubungan antara rakyat dan penguasa dalam sistem sekular adalah:
rakyat sebagai musta’jir (majikan) dan penguasa sebagai ajir (pekerja).
Layaknya akad (transaksi) ijârah, si ajir (yaitu penguasa)
memperoleh upah (ujrah) atas pekerjaannya (yang tertuang dalam GBHN);
memiliki jam kerja; memiliki hari-hari libur, cuti, dan sejenisnya. Malahan
periode kerjanya juga ditentukan oleh rakyat, bisa empat tahun atau lima tahun.
Setelah itu bisa terpilih kembali atau ada orang lain yang menggantikannya.
Transaksi
semacam itulah yang dikenal dengan kontrak sosial rakyat dengan penguasa. Fenomena
ini berlangsung hampir di seluruh dunia, termasuk negeri-negeri Muslim.
Masalahnya,
apakah hubungan antara penguasa dengan rakyat di dalam sistem Islam sama persis
seperti itu?
Islam
berbeda dengan ideologi lain, baik kapitalisme-sekularisme maupun
sosialisme-komunisme. Perbedaannya bukan hanya dalam aspek prinsip-prinsip pokok
(ushûl) melainkan juga hingga ke cabang-cabangnya yang terkecil (furû‘).
Oleh karena itu, hubungan antara penguasa dan rakyat dalam sistem Islam sangat
bertentangan dengan seluruh sistem dan ideologi yang ada di dunia.
Dalam
Islam, kedaulatan (as-siyâdah)
ada di tangan Allah Swt., bukan di tangan rakyat maupun penguasa. Ini
sesuai dengan firman Allah Swt: (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 36). Sedangkan kekuasaan (as-sulthah)
berada di tangan rakyat (kaum Muslim). Alasannya, karena kaum Muslim-lah yang memilih dan
menentukan khalifah, tentu saja setelah para kandidat khalifah memenuhi ketentuan-ketentuan
syarat-syarat berdasarkan syariat..
Apabila
hasil pemilihan menghasilkan suara terbanyak pada seorang khalifah, maka rakyat
(kaum Muslim) akan membaiatnya. Jadi, secara syar‘i, hubungan antara
rakyat (kaum Muslim) dan penguasa dalam sistem Islam diekspresikan dalam bentuk
akad baiat.
Baiat
adalah kewajiban bagi seluruh kaum Muslim, sekaligus menjadi hak setiap Muslim,
baik laki-laki maupun wanita. Kewajiban ini tampak dari pengertian hadis:
«وَمَنْ مَاتَ
وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada
baiat (kepada Khalifah), maka matinya dalam keadaan mati jahiliah. (HR Muslim).
Dengan
dibaiatnya seorang khalifah oleh rakyat (kaum Muslim), maka secara legal (syar‘i)
kedudukan khalifah tersebut menjadi sah. Khalifah wajib menjalankan sistem
hukum Islam dalam seluruh aspek yang menjadi tanggung jawabnya sebagai kepala
negara (yang mencakup aspek-aspek politik dalam dan luar negeri, ekonomi,
sosial, pendidikan, militer, peradilan dan lain-lain). Artinya, syariat Islam
menempati kedudukan yang tertinggi dan khalifah adalah orang yang diangkat oleh
rakyat melalui baiat untuk mengatur dan memelihara seluruh urusan rakyatnya
berdasarkan syariat Islam (dicerminkan dalam bentuk pelaksanaan al-Quran dan
as-Sunnah). Selama seorang khalifah menjalankan syariat Islam, maka ia tidak
berhak diberhentikan, meskipun ia menjadi khalifah seumur hidup. Namun, jika
seorang khalifah melalaikan atau mencampakkan pelaksanaan syariat Islam, maka
ia layak untuk diberhentikan, walaupun ia baru sehari menduduki jabatan khalifah.
Yang berhak menentukan layak atau tidaknya diberhentikan adalah Mahkamah Mazhalim,
bukan rakyat maupun Majelis Syura.
Berdasarkan
hal ini, maka yang dominan dan yang menguasai rakyat maupun khalifah di dalam
kehidupan Islam adalah syariat Islam
(hukum-hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya), bukan yang lain. Ketegasan dan
keterikatan khalifah untuk tetap berpegang teguh pada syariat Islam dan
menerapkannya atas seluruh pengaturan urusan rakyatnya, baik di dalam maupun di
luar negeri, bersifat wajib. Apabila sebagian besar rakyatnya (kaum Muslim)
atau mungkin seluruh rakyatnya menghendaki penggantian sistem Islam, maka khalifah
wajib tetap terikat terhadap syariat Islam (hukum-hukum Allah Swt. dan
Rasul-Nya). Dalam kondisi seperti ini, rakyat (kaum Muslim) tidak berhak untuk
memberhentikan dan mengganti khalifah yang ada dengan khalifah yang baru, yang
akan memenuhi tuntutan rakyat (kaum Muslim) yang menginginkan penerepan sistem
hukum sekular!
Sementara
itu, rakyat dalam sistem Islam, wajib menaati perintah (keputusan) Khalifah,
kecuali Khalifah memerintahkan perkara yang temasuk maksiat. Ketaatan kepada
Khalifah telah dijamin oleh nash-nash al-Quran (Lihat, mialnya: QS an-Nisa’
[4]: 59).
Rasulullah saw. juga
bersabda:
«مَنْ أَطَاعَنِيْ
فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ
اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ»
Siapa
saja yang menaatiku, sesunggunya ia telah menaati Allah. Siapa saja yang bermaksiat
kepadaku, sesungguhnya ia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang menaati
amir (Khalifah dan aparatnya, pen.), sesungguhnya ia telah mentaaiku. Siapa saja
yang bermaksiat kepada amir, sesungguhnya ia telah bermaksiat kepadaku. (HR
Ahmad).
Lebih
dari itu, kuatnya kedudukan Khalifah ditegaskan dengan larangan untuk berlaku bughat
(membangkang) terhadap Khalifah dan aparatnya. Jika rakyat membangkang
terhadap Khalifah, maka mereka dihukumi dengan had bughat: dinasihati
agar mereka kembali ke pangkuan Negara Khilafah Islam; jika mereka menolak, Negara
Khilafah Islam akan memerangi mereka sampai mereka kembali.
Dengan
demikian, Islam tidak mengenal istilah kontrak sosial, pembatasan masa jabatan
kepala negara, trias politica, kedaulatan rakyat, dan ide-ide demokrasi
lainnya.
Wallâhu a‘lam.
0 Response to "ADAKAH KONTRAK SOSIAL DALAM ISLAM?"
Posting Komentar