Apakah sesama kaum Muslim dibolehkan berbeda pendapat
(ikhtilaf)? Dalam perkara apa saja
ikhtilaf dibolehkan? Bagaimanapula adab di dalam menyikapi perbedaan pendapat?
Jawab:
Memang benar, bahwa sesama kaum Muslim dilarang
untuk berbeda pendapat dan terpecah belah dalam berbagai firqah
(kelompok-kelompok). Allah Swt.
berfirman:
Janganlah kalian menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. (QS Ali Imran [3]:
105).
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama)
Allah dan janganlah kalian bercerai berai. (QS Ali Imran [3]: 103).
Namun demikian, ayat-ayat tersebut maupun nash-nash
lainnya yang melarang adanya ikhtilaf dan adanya firqah-firqah tidak
mencakup seluruh perkara agama. Larangan
tersebut hanya mencakup perkara ushûl (pokok) dari agama, bukan perkara furû’
(cabang). Jadi, konteks ayat di atas
berkaitan dengan larangan bagi kaum Muslim untuk berikhtilaf dan bercerai-berai
dalam perkara-perkara ushûl (pokok) dari agama ini.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus
dimengerti:
Pertama, kita dilarang untuk berikhtilaf dan
bercerai-berai, seperti halnya orang-orang kafir yang berselisih dan
bercerai-berai dalam perkara-perkara pokok dari agama mereka. Misalnya,
perselisihan mereka tentang kenabian, Hari Kebangkitan; tentang kehidupan dan
kematian; juga tentang kitab suci mereka.
Di antara mereka ada yang menganggap bahwa al-Masih adalah anak
Allah. Yang lainnya menganggap bahwa ‘Uzair adalah anak Allah.
Yang lainnya lagi berpendapat bahwa siksa Neraka itu hanya beberapa hari saja,
tidak selamanya. Banyak lagi contoh-contoh lainnya, yang seluruhnya berakibat
pada munculnya banyak aliran dan sekte-sekte.
Allah Swt. berfirman:
Janganlah kalian termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan
mereka menjadi beberapa golongan.
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka. (QS ar-Rum [30]: 31-32).
Kedua, kaum Muslim dibolehkan berbeda pendapat di antara
mereka dalam perkara-perkara furû’ (cabang) agama. Bahkan, pada sebagian perkara, penyatuan
berbagai pendapat adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dan melanggar
makna dari teks nash-nash yang ada. Jika dipaksakan juga, hal itu akan
berakibat pada kesulitan dan kesengsaraan.
Rasulullah saw. bersabda:
Apabila seorang hakim berijtihad, lalu ijtihadnya
benar, maka ia (memperoleh) dua ganjaran.
Sebaliknya, jika ijtihadnya salah ia (memperoleh) satu ganjaran.
Janganlah kalian melaksanakan shalat ‘ashar kecuali
(sesampainya) di kabilah Quraidhah.
Para sahabat Rasulullah saw. terbagi dua dalam
memahami hadis ini. Ada yang kemudian melaksanakan shalat ashar (jama’
taqdîm) dan ada pula yang melaksanakan shalat ashar setelah sampai di
Kabilah Quraidhah (jama’ ta’khîr).
Rasulullah saw. mendiamkan keduanya.
Yang dimaksud dengan perkara-perkara ushul adalah
perkara-perkara i’tiqâdiyah, yang terbagi menjadi dua: (1) Yang
diperoleh melalui pengkajian dan penelaahan akal (‘aqlî) seperti iman
terhadap wujud Allah, iman bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, dsb. (2) Yang
diperoleh melalui penukilan (naqlî) dan pemberitaan (khabar)
seperti iman terhadap malaikat-malaikat; iman terhadap adanya surga dan neraka;
iman terhadap hari kebangkitan; iman bahwa Allah adalah Pemberi rezeki, Yang
Menghidupkan dan Yang Mematikan; dan sejenisnya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan perkara-perkara
furû’ adalah perkara-perkara fikih yang bersifat praktis yang digali
dari dalil-dalil yang terperinci.
Perkara-perkara fikih yang bersifat praktis pun dapat dibagi lagi
menjadi dua: (1) Perkara-perkara yang sumbernya bersifat pasti (qath‘î
ats-tsubût) dan penunjukkan dalilnya bersifat pasti pula (qath‘î
ad-dalâlah), yaitu yang bersumber dari nash al-Quran dan hadis mutawatir,
serta hanya memiliki satu makna saja (tidak ada penafsiran lainnya) terhadap
teks (matan)-nya; seperti haramnya riba, minum khamar, membunuh,
mencuri, berzina, dan lain-lain. (2) Perkara-perkara zhannî (baik
menyangkut sumber maupun penunjukkan dalilnya atau salah satu di antara
keduanya). Jika yang dimaksud adalah zhannî
sumbernya (zhannî ats-tsubût), berarti berasal dari selain hadis-hadis
mutawatir (yaitu khabar ahad maupun masyhur). Sedangkan yang penunjukkan
dalilnya zhannî, berarti mengandung makna lebih dari satu macam
penafsiran.
Dari pengelompokan tersebut, kaum Muslim dibolehkan
berikhtilaf dalam perkara-perkara yang penunjukkan maknanya zhannî (zhannî
ad-dalâlah), baik teksnya berasal dari sumber yang pasti—yakni al-Quran dan
hadis mutawatir— maupun yang bersumber dari yang zhannî—yaitu hadis ahad
dan masyhur.
Para fukaha kaum Muslim memasukkan pembahasan ini
dalam topik besar dan luas, yaitu ijtihad.
Ijtihad (penggalian hukum) tidak berlaku dalam perkara-perkara yang
penunjukkan maknanya satu (qath’‘î ats-tsubût) dan dalam perkara-perkara
ushûl yang bersifat qath‘î.
Ijtihad dalam perkara-perkara ushuluddin maupun qath‘î ad-dalâlah
akan berakibat pada kerusakan, kezaliman, bahkan kekufuran. Misalnya,
menyatakan bahwa ada nabi lagi setelah Muhammad Rasulullah saw., demokrasi dan
sistem kapitalis lebih tinggi dan lebih layak dibandingkan dengan Islam dan
sistem hukum Islam; mengganti hukuman had dengan denda, penjara, dan
sejenisnya, Inilah yang dimaksud dengan firman Allah:
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama)
Allah dan janganlah kalian bercerai berai. (QS Ali Imran [3]: 103).
Yang dimaksud dengan hablullâh adalah
al-Quran. Demikian menurut pendapat Ali, Ibn Mas’ud, dan Sa’id al-Khudri.
Dengan demikian, perbedaan pendapat (ikhtilaf) itu
ada dua jenis. Pertama, ikhtilaf
yang terpuji, yaitu yang tercakup dalam perkara-perkara zhannî ad-dalâlah
yang menyangkut wilayah furû’ (cabang) agama kita. Kedua, ikhtilaf yang
tercela, yaitu yang tercakup dalam perkara-perkara ushuluddin dan
perkara-perkara yang penunjukkan maknanya qath‘î (qath‘î ad-dalâlah).
Oleh karena, jika kaum Muslim—terutama para aktivis
dakwah—memahami perkara ini, maka mereka akan dapat menentukan mana
perkara-perkara yang saat ini termasuk urgen, penting, dan sangat vital bagi
umat sehingga mereka bisa saling mengisi, bersatu, dan saling tolong-menolong
dengan yang lainnya; serta mana perkara-perkara yang tergolong furû’
(cabang) sehingga umat tidak terjebak dan dijebak dalam polemik berkepanjangan
yang tidak akan pernah selesai, bahkan dapat melemahkan mereka dan memalingkan
mereka dari perjuangan yang sebenarnya, yaitu menegakkan dan menerapkan sistem
(hukum) Islam secara total melalui tegaknya Negara Khilafah. Wallâhu a’lam.
0 Response to "Adab Berbeda pendapat dalam Islam"
Posting Komentar