Ini adalah pertanyaan yang paling
penting di masa sekarang. Sebab, umat
Islam yang telah lama kehilangan bentuk kehidupan Islam yang menyeluruh secara
riil ini memang telah kehilangan kepribadian mereka. Bahkan gambaran tentang
kepribadian Islam pun banyak yang mereka tak mengetahui. Sebagaimana telah
dibahas dalam sesi pertama bahwa kepribadian Islam atau syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri seseorang terwujud manakala ia
telah bertekad untuk memiliki pola berfikir Islami (aqliyyah Islamiyyah) dan
pola pengendalian tingkah laku yang Islami (nafsiyyah Islamiyyah). Dan tekad seperti itu dalam diri seorang
muslim tentunya muncul karena dia memiliki aqidah Islamiyyah. Dari sini dapat
dipahami bahwa pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri seseorang dapat
ditempuh melalui dua tahapan. Pertama, mengintroduksikan aqidah
Islamiyyah kepada diri seseorang agar dia jadikan aqidah atau pandangan
hidupnya. Kedua, seorang muslim yang
telah memiliki aqidah Islamiyyah itu bertekad menjadikan aqidah Islamiyyah itu
sebagai landasan (qaidah) dalam
melakukan proses berfikirnya sehingga dia memiliki pola berfikir Islami
(aqliyyah Islamiyyah) sekaligus menjadikan aqidah itu sebagai landasan (qaidah)
dalam mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya serta keinginan-keinginannya
(nafsiyyah Islamiyyah). Setelah terbentuk syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri
seorang muslim bukan berarti dia terus diam berpangku tangan. Justru dia harus merawat dan membina atau
mengembangkan kepribadiannya. Sebab, dalam memberikan status kepribadian Islam
atau belum, tidak ditinjau dari segi kualitas kepribadiannya, melainkan
ditinjau dari segi apakah ia telah bertekad memiliki aqliyyah Islamiyyah dan
nafsiyyah Islamiyyah atau tidak. Artinya, apabila orang sudah bertekad
menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan berfikirnya berarti dia telah
memiliki aqliyyah Islamiyyah; tanpa diperhitungkan apakah dia telah hafal Al
Qur'an 30 juz ataukah baru bisa menghafal Al Fatihah dan “Qulhu” buat shalat;
apakah dia hafal ribuan hadits dengan sanad dan matannya ataukah baru
mengetahui potongan hadits "innamal
a'maalu binniyyaat"; apakah dia menguasai fiqih madzhab Syafi'i
ataukah cuma tahu beberapa hukum pokok seperti haramnya mencuri dan minum
khamer atau wajibnya shalat dan haji tanpa mengerti dalil-dalilnya. Juga
seorang muslim dikatakan telah memiliki nafsiyyah Islamiyyah manakala ia telah
bertekad menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan yang mengatur keinginan
dan tingkah lakunya; tanpa diperhitungkan apakah dia gemar bertahajjud ataukah
masih membatasi diri pada shalat lima waktu; apakah dia sudah rajin puasa
Senin-Kamis atau bahkan puasa Dawud ataukah masih sebatas puasa Ramadlan; apakah
dia sudah rajin menolong orang dan membantu kesulitan finansialnya ataukah
sebatas mengeluarkan zakat fitrah. Semuanya sama disebut memiliki syakhshiyyah
Islamiyyah, hanya saja berbeda kualitasnya. Tentu saja setiap muslim selalu
bercita-cita menjadi orang yang berkepribadian luhur, orang yang alim lagi
shalih, memiliki kepribadian yang mendekati kesempurnaan. Di sinilah, perlunya
pembinaan dan pengembangan kepribadian Islam.
Menancapkan Aqidah yang Produktif
Karena syakhshiyyah Islamiyyah
fondasinya adalah aqidah Islamiyyah, maka setiap muslim yang telah bertekad
memiliki aqidah Islamiyyah hendaknya meninjau kembali aqidahnya: benarkah
aqidahnya telah merupakan aqidah aqliyyah yang muncul dari proses berfikir
sebagaimana yang dianjurkan Imam As Syafi'i r.a. yang tersebut dalam kitab
Fiqhul Akbar? Jika belum, maka dia harus
mengoreksinya dengan memikirkan alam semesta dan mencari jawab siapa yang telah
berdiri di balik alam semesta, kehidupan, dan manusia? Mengapa demikian? Sebab, pemikiran yang menyeluruh tentang
alam, kehidupan, dan manusia, segala sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia,
yang ada setelah kehidupan dunia' serta hubungan antara kehidupan dunia dengan
segala sesuatu yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia itu merupakan
pemikiran yang paling mendasar (fikrah asasiyah). Pemikiran semacam inilah yang
menjadi pangkal bagi penyelesaian masalah-masalah hidup. Dan dengan menjadikan fikrah asasiyah sebagai
aqidah seorang muslim, maka dia akan bisa berfikir dan berbuat dalam rangka
mengatasi segala problema yang dihadapinya.
Sebagai contoh aqidah yang
menggerakkan seseorang atau suatu umat adalah aqidah Islamiyyah yang telah
menerangi para shahabat Rasulullah saw. yang sebelumnya hidup dalam kegelapan
jahiliyyah. Mereka sadar bahwa hidup
tidak hanya di dunia saja, melainkan akan berlanjut kepada kehidupan akhirat
yang merupakan tempat pembalasan dari amal baik dan buruk manusia di
dunia. Mereka sadar bahwa yang layak
disembah bukanlah Lata, Uza, Manat dan batu-batu berhala lainnya yang tak
memberikan mudlarat maupun manfaat; yang layak disembah adalah Allah Rabbul
'alamiin. Mereka bergiat dalam ibadah, mensucikan diri dari lumpur-lumpur
perbuatan hina yang pernah mereka lakukan atau saksikan di zaman jahiliyyah;
bahkan mereka terus-menerus berjuang mengakkan agama Allah SWT dengan dakwah
dan jihad fi sabilillah. Itulah buah
aqidah yang benar, yang tidak membuat pikiran jumud dan beku, tapi justru
membuat pikiran dan jiwa-jiwa yang produktif.
Jika aqidah Islamiyyah diperoleh
melalui proses mengamati dan meneliti kebenaran aqidah itu (baik dengan dalil
aqli maupun naqli) maka pribadi seorang muslim akan memiliki vitalitas yang
tinggi. Namun jika aqidah Islam yang
dimilikinya hanyalah warisan dari generasi terdahulu lewat dikte dan hafalan, maka aqidah itu tak
menggerakkan dirinya sama sekali. Bahkan
pikiran dan tingkah lakunya bisa-bisa diarahkan dan dikontrol oleh pandangan-pandangan
hidup lainnya yang bertebaran di muka bumi ini.
Inilah realitas yang terjadi pada kebanyakan umat Islam di berbagai
negeri Islam dewasa ini. Bayangkan,
dengan ilah, nabi, kitab suci, dan
kiblat yang satu mereka terpecah belah dalam lebih dari 50 negara dengan ragam
hidup bernegara dan bermasyarakat yang berbeda-beda. Padahal Allah SWT telah menyeru mereka untuk
bersatu padu dan berpegang teguh pada agama Islam, sebagaimana firmanNya:
"Berpegang teguhlah kalian kepada tali (agama)
Alah dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali
Imran 103).
Oleh karena itu, harus ada
pembenahan masalah-masalah aqidah dalam diri umat ini agar mereka menemukan
vitalitasnya kembali.
Meningkatkan Kualitas Berfikir
Sebagaimana telah dikatakan bahwa
seorang muslim yang telah membentuk kepribadian Islamnya tidak berarti telah
selesai kewajibannya. Ia harus
melestarikannya dan membinanya atau mengembangkan kepribadiannya. Dalam hal ini
dia harus meningkatkan kualitas berfikir Islaminya serta meningkatkan
ketaatannya kepada Allah sehingga nafsiyyahnya pun menjadi tinggi. Dalam hal
meningkatkan kualitas berfikir Islaminya dia harus menyadari bahwa proses
berfikir adalah mempertemukan antaran fakta (al waaqi') dan informasi (al
ma'luumaat). Dan berfikir Islami itu berarti mempertemukan dua komponen
berfikir itu dengan landasan berfikir (qaidah
fikriyyah) aqidah Islamiyyah. Artinya, dia hanya akan menggunakan
informasi-informasi Islam atau informasi-informasi yang dibenarkan oleh Islam
dalam menilai fakta yang dihadapinya.
Agar seorang muslim dapat
mempertemukan informasi-informasi Islam dalam menilai fakta-fakta yang
dihadapinya, dia harus mencurahkan tenaga untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman
(tsaqafah Islamiyyah), baik itu ilmu
tentang aqidah Islamiyyah atau ilmu tauhid, teks-teks Al Qur'an beserta
tafsirnya serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al Qur'an, teks-teks hadits
beserta syarahnya maupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sunnah Rasulullah saw.
itu, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu bahasa Arab, dan ilmu-ilmu Islam lainnya.
Jadi seorang muslim harus meningkatkan penguasaannya terhadap
informasi-informasi Islam yang bersumber pada Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah
saw. Dua sumber yang merupakan
satu-satunya nash-nash syara' itulah yang harus menjadi perhatian utama kaum
muslimin yang hendak meninggikan kualitas berfikirnya sebab keduanyalah
simpanan pemikiran yang paling tinggi yang beredar di kalangan manusia dan
menjadi satu-satunya sumber petunjuk bagi hidup dan kehidupan manusia. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar
supaya mereka berpikir". (QS An-Nahl:
44).
Sedangkan Allah SWT telah mewajibkan
kaum muslimin untuk mengambil segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah
SAW. Firman Allah SWT:
"Dan apa-apa yang didatangkan Rasul kepadamu maka
ambillah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat keras siksanya." (QS Al Hasyr: 7).
Lafadz maa di atas bersifat umum.
Artinya, mencakup seluruh ide, hukum-hukum dan pemecahan-pemecahan atas
problema manusia, yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sedangkan makna mengambil apa-apa yang dibawa
oleh Rasulullah SAW, tidak mungkin terlaksana tanpa memahami dan mempelajari
terlebih dahulu apa yang dibawa oleh Rasulullah itu. Usaha memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah
membuahkan pengetahuan Islam tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah, juga membuahkan
cabang-cabang pengetahuan Islam.
Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Jilid I
halaman 212 menunjukkan metode mempelajari tsaqofah Islamiyyah sebagai berikut:
Pertama, mempelajari materi-materinya
secara mendalam agar mencapai pemahaman yang sempurna terhadap hakekatnya; Kedua, orang yang mempelajarinya harus
meyakini materi yang dipelajari sehingga terdorong untuk mengamalkannya; Ketiga mempelajari materi-materi secara
praktis sehingga siap digunakan untuk menyelesaikan problema-problema yang
dihadapi dalam kehidupan nyata.
Materi-materi tsaqofah Islamiyyah
harus dipelajari secara mendalam, mengingat tsaqofah ini mempunyai akar
pemikiran-pemikiran yang betul-betul mendalam, dan membutuhkan kesabaran bagi
siapapun yang mempelajarinya. Proses
mendalami tsaqofah merupakan suatu proses berpikir yang membutuhkan kesungguhan
otak untuk mencapai tingkat pemahaman. Dalam proses tersebut dibutuhkan usaha
memahami teks-teks kalimatnya, menyelami faktanya, serta usaha memadukan fakta
tersebut dengan informasi-informasi yang tercantum dalam teks-teks kalimatnya.
Misalnya, seorang muslim diwajibkan menemukan (memeluk) aqidahnya dengan
menggunakan akal, tidak boleh menerima (taslim) begitu saja. Dengan demikian, mutlak diperlukan usaha
berpikir dalam mempelajari dasar-dasar aqidah.
Hukum-hukum syara yang terkandung dalam nash-nash Al-Qur'an dan
As-Sunnah harus di-istimbath-kan
(dicarikan ketetapan hukumnya) dengan cara memahami fakta yang menjadi
persoalan, nash yang berhubungan dengan persoalan tersebut, dan penerapan nash
atas fakta persoalan tersebut. Istimbath jelas merupakan aktivitas berpikir. Bahkan, orang awam yang ingin mengambil suatu
hukum yang akan diamalkan, kendati ia tidak tahu dalilnya, perlu juga melakukan
usaha berpikir untuk sekedar mengetahui persoalan dan hukum yang tepat untuk mengatasi
persoalan tersebut. Hal ini dilakukan
agar ia tidak salah mengambil hukum yang sebenarnya. Jadi, untuk memiliki tsaqofah Islamiyyah,
baik para mujtahid maupun orang-orang awam, semuanya harus melakukan usaha
secara bersungguh-sungguh.
Aktivitas berpikir yang mendalam
tersebut merupakan ciri khas Islam. Dan
itulah yang telah diwujudkan Rasulullah dalam mengkader para shahabat, sehingga
bangsa Arab yang buta huruf --saat itu yang mampu baca tulis hanya sekitar 17
orang-- menjadi bangsa yang cemerlang dalam bidang pemikiran dan
penemuan-penemuan baru. Rasulullah mengajarkan kepada mereka (para shahabat)
pemikiran yang paling mendasar, yaitu pemikiran yang menyeluruh tentang
kehidupan, manusia dan alam semesta, tentang perkara-perkara sebelum adanya
dunia dan sesudahnya serta hubungan antar ketiganya. Rasulullah mengenalkan di
dalam pembinaannya suatu tradisi berpikir yang merupakan follow up dari pemahaman terhadap pemikiran yang paling mendasar
tersebut. Bahkan, beliau merangsang para
shahabatnya dengan memberikan penilaian lebih kepada aktivitas berpikir
daripada aktivitas ibadah ritual. Dan
itulah yang dipahami, dirasakan menjadi tradisi para shahabat. Diriwayatkan dari Amr bin Abdi Qais:
"Aku mendengar dari dua atau tiga orang shahabat
yang mengatakan: 'Sesungguhnya cahaya iman adalah ibadah'. (Lihat Kitab Ad Durul Mantsur, Imam Suyuthi, Juz II, halaman 409).
Namun demikian, shahabat Rasulullah
yang terkenal dengan hadits-hadits mustaqbalnya, Hudzaifah bin Yaman r.a.,
meriwayatkan bahwa mencari ilmu dan mendalaminya lebih utama dibandingkan
dengan ibadah. Beliau mengatakan:
"Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan
ibadah". (HR
Thabrany, lihat buku Targhib wat-Tarhib,
Al-Mundzir, halaman 103).
Membina Jiwa yang Taat Kepada Allah
Seorang muslim yang memiliki
syakhshiyyah Islamiyyah hendaknya membina nafsiyyahnya agar memiliki nafsiyyah
Islamiyyah yang luhur dengan jalan menggiatkan aktivitas ibadah seperti shalat,
dzikir, membaca Al Qur'an, pergi haji atau umroh, dan melaksanakan ketatan-ketatan
lainnya. Bagaimana cara efektif agar
seorang muslim dapat senantiasa meningkatkan ketaatan dirinya kepada Allah SWT?
Pertama,
dia harus faham bahwa dirinya memiliki potensi hidup (thaqah hayawiyyah) berupa gharaiz
dan hajatul 'udhawiyyah. Ada tiga jenis gharizah, yaitu: gharizatul baqa' (naluri mempertahankan
diri), gharizatun Nau' (naluri
melangsungkan keturunan), dan gharizatut
tadayyun (naluri beragama).
Masing-masing gharizah memiliki wujud khas pemunculannya. Gharizatul
baqa' misalnya, secara ril dan terwujud dalam perilaku difa', seperti mengusir penjajah keluar dari tanah air, menangkis
pukulan seseorang, mempertahankan harta dari perampok, mempertahankan
tuduhan-tuduhan dan fitnah yang dilontarkan oleh orang yang ingin menjatuhkan. Hubbus siyaadah atau cinta kekuasaan
merupakan manifestasi lain dari naluri ini.
Fenomena lain yang bisa dikatakan
sebagai wujud dari gharizah baqa' adalah hubbut
tamalluk (cinta harta). Kita jumpai
para buruh dan pegawai keluar pagi hari dan kembali di sore hari bekerja
mencari nafkah untuk anak, isteri dan keluarganya. Mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan
pangan, sandang dan papan. Apabila seseorang sudah bisa makan enak, cukup
sandang, tempat tinggal ada, maka ia akan berusaha meningkatkan kualitas dan
kuantitas yang dimilikinya tersebut.
Itulah kesenangan yang dikejar dan ingin dimiliki manusia sebagaimana
firman Allah :
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)".
(QS Ali Imran: 14)
Gharizah yang kedua adalah
gharizatun nau', naluri tertarik kepada lawan jenis manusia dan keinginan untuk
melangsungkan keturunan. Manifestasi dari gharizah ini adalah dorongan seksual
yang dimiliki setiap orang. Pria
mempunyai kecenderungan seksual kepada wanita, begitu sebaliknya. Agaknya, dorongan inilah yang menyebabkan
-misalnya, dua insan saling bertatapan mata, saling mendekatkan hati, saling
rindu, saling mendekatkan diri, dan sebagainya.
Gharizah yang ketiga adalah
gharizatut tadayyun atau naluri beragama.
Menghormati dan tunduk kepada pihak yang kuat merupakan manifestasi
gharizah ini. Kita bisa melihat ketundukan
dan kepatuhan murid kepada gurunya, buruh kepada majikan, bawahan kepada
atasan, pengikut kepada pemimpin dan lain-lain yang merupakan bentuk respon
orang-orang lemah kepada orang kuat. Hal-hal yang menjadikan orang merasa kuat
adalah ilmu, harta, kekuasaan atau wewenang yang dimilikinya. Kecenderungan ini nampak jelas pada
orang-orang tertentu yang mempunyai kharisma atau kewibawaan.
Adapun haajatul 'udhawiyyah berupa
kebutuhan-kebutuhan jasmani yang berhubungan dengan proses metabolisme tubuh
seperti rasa lapar, haus, atau ingin buang hajat.
Kedua,
seorang muslim harus memahami bahwa seluruh potensi hidup tersebut memiliki
karakter-karakter tertentu. Misalnya, gharizah muncul dan bergetar mencari
pemuasan karena faktor dari luar diri manusia.
Sementara, haajatul 'udhawiyyah bekerja secara otomatis kendati tanpa
pengaruh dari luar. Gharizah yang
bergetar tidak wajib dipenuhi tuntutannya, karena jika tidak dipuaskan, tidak
akan membahayakan tubuh. Paling cuma
menimbulkan kegelisahan, keresahan dan perasaan semacamnya. Berbeda dengan gharizah, haajatul 'udhawiyyah
bila sudah muncul wajib dipenuhi, karena jika tidak akan menimbulkan pengaruh
buruk pada orang, bahkan bisa mati.
Seorang pria kalem bisa menjadi
beringas manakala mendapati rumahnya berantakan dan istrinya menceritakan
kebiadaban perampok yang menguras harta kekayaannya dan memperkosa dirinya.
Lelaki itu tergetar dengan peristiwa ini, kehormatannya diinjak-injak. Sebaliknya,
seseorang yang tadinya biasa-biasa saja, mengembang hatinya dan tumbuh
keberaniannya untuk mengambil keputusan dan tumbuh rasa tanggung jawabnya
setelah mendapatkan kesempatan memimpin sekelompok karyawan. Seorang kakek yang
sudah lanjut usia berjalan tertatih-tatih mengambil air wudlu dari pancuran
pada suatu pagi, sementara alunan adzan sayup-sayup terdengar merdu dibawa
angin dari kejauhan yang dikumandangkan dari mesjid di desa seberang.
Sementara, seseorang, siapapun
orangnya, secara alami akan merasa lapar dan haus manakala simpanan cadangan
karbohidrat dan air di dalam tubuhnya menipis, sehingga mengganggu keseimbangan
proses metabolisme tubuhnya. Mekanisme
ini bekerja dalam tubuh manusia secara alamiah, tanpa sedikitpun ada faktor
luar; ada tidak ada makanan dan minuman.
Sebaliknya, seseorang yang kenyang perutnya tidak akan pernah seketika
menjadi lapar walaupun disodorkan kepadanya makanan lezat yang dihidangkan oleh
bintang film yang cantik. Sebaliknya,
seseorang akan merasa lapar walaupun dihibur dengan kata-kata yang lemah lembut
dan simpatik dari seorang gadis cantik.
Ia butuh makanan, bukan butuh kata-kata.
Jika tuntutan ini tidak dipenuhi dalam jangka waktu yang lama, matilah
dia. Demikianlah tabiat haajatul
'udhawiyyah; memaksa dan tidak mau kompromi.
Adapun keinginan-keinginan yang
muncul dari dorongan gharizah tidaklah wajib dipenuhi. Keinginan itu masih bisa
dikompromikan, dipalingkan, bahkan dihilangkan sama sekali. Seorang yang beringas dan menyimpan dendam masih
bisa ditenangkan dan disadarkan kembali.
Ia tidak akan mati karena tidak melampiaskan dendam kesumatnya. Juga, seseorang tidak perlu bunuh diri hanya
karena ditinggal kekasihnya menikah dengan lelaki lain. Kalaupun ia mati bunuh diri, tidak berarti ia
mati karena ditinggal kekasihnya, melainkan semata-mata ia mencelakakan
dirinya, dan ajalnya telah tiba. Hati
seorang hamba Allah pun bisa kering dan gersang, bahkan keras bagaikan batu
manakala hati itu tidak pernah mendapat sentuhan-sentuhan ayat-ayat Allah dan
peringatan-peringatan para muballigh.
Ketiga,
selalu menghubungkan potensi hidup yang dimilikinya dan karakter-karakternya
dengan perturan Allah SWT tentang pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Untuk itu,
keterikatan dirinya kepada daya yang selalu mengikatkan dirinya kepada
peraturan Allah SWT selalu dibinanya dengan sebaik-baiknya. Apa itu?
Pendekatan diri kepada Allah SWT (taqarrub
ilallah), baik dengan amalan-amalan yang diwajibkan Allah maupun dengan
amalan-amalan yang disunnahkannya. Di dalam sebuah hadits Qudsy Rasulullah saw.
bersabda: Allah SWT berfirman:
"Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku
seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Kusukai daripada menjalankan
kewajibannya. Dan tiada henti-hentinya
seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan sunnah-sunnah
nafilah, sehingga Aku mencintainya.
Kalau Aku sudah mencaintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang
ia mendengarkan dengannya dan aku akan menjadi penglihatannya yang ia melihat
dengannya; dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan; dan Aku akan
menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya"
(Sahih Bukhari, XI/292-297).
Dengan cara itulah seorang muslim
akan memiliki nafsiyyah Islamiyyah yang tinggi dan terpuji. Dengan demikian, perpaduan kualitas aqliyyah
Islamiyyah yang tinggi dan jernih serta nafsiyyah yang tinggi dan terpuji akan
membentuk syakhshiyyah Islamiyyah yang luhur dan unggul.
Oleh karena itu, menurut Syekh
Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya As
Sykahshiyah al Islamiyyah Juz I/15, ada tiga langkah dalam metode
pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam dalam diri seseorang. Pertama,
diintroduksikan aqidah Islamiyyah pada diri seseorang dengan teknik introduksi
yang sesuai dengan kategori aqidah itu, yakni sebagai aqidah aqliyyah. Kedua,
mengajaknya bertekad bulat untuk menegakkan bangunan cara berfikir dan cara
mengatur kecenderungan di atas pondasi aqidah Islamiyyah yang telah menghunjam
di dalam hatinya. Ketiga, mengembangkan kepribadiannya dengan cara membakar
semangatnya untuk serius dan sungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan
kesempurnaan tsaqafah Islamiyyah dan mengamalkannya dalam seluruh aspek
kehidupannya dalam rangka melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allah SWT.
Metode seperti inilah yang pernah
diterapkan Rasulullah saw. Beliau saw. mendakwahkan aqidah Islamiyyah sebagai
pandangan hidup baru kepada masyarakat Arab jahiliyyah penyembah berhala. Orang yang mendengar dan berfikir jernih
menerima aqidah itu. Dari hari ke hari
aqidah itu semakin kuat menghunjam dalam jiwa mereka. Setelah sekian lama memonitor cara berfikir
dan cara pengendalian kecenderungan mereka, Rasulullah saw. bersabda:
"Tidaklah beriman salah seorang di antara anda,
sehingga dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa (Islam) yang kubawa"
(HR. An Nawawi).
Setelah itu beliau saw. menjelaskan
ayat-ayat Al Qur'an yang turun dan menerangkan hukum-hukum Islam serta
mengajarkan keseluruhan Islam kepada kaum muslimin. Di tangan beliau dan orang-orang yang
mengikuti jalan yang beliau tempuh, lahirlah pribadi-pribadi unggul di
dunia. Yang terbaik di antara umat
manusia. Yang tak tertandingi kecuali
oleh para nabi. Ya, bisa dikatakan bahwa
pribadi-pribadi agung tersebut adalah pribadi tertinggi yang setingkat di bawah
para nabi.
Oleh karena itu, jika umat ini ingin
bangkit kembali, mereka mesti melahirkan pribadi-pibadi muslim dengan metode
pembentukan dan pengembangan kepribadian seperti yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Wallahu a'lam!
0 Response to "Proses Pembentukan Kepribadian"
Posting Komentar