NASKAH DRAMA CINDUA MATO

Naskah Karya : Wisran Hadi
(Pemenang Sayembara Penulisan naskah Sandiwara Indonesia
yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 1977.
Dipentaskan oleh BUMI TEATER Padang 1978 di Padang. Disertasi
Ph.D oleh Mursal Esten)
Pemain:
•Seorang pemain laki-laki yang akan berperan sebagai CINDUA MATO
•Seorang pemain laki-laki yang akan berperan sebagai DANG TUANKU
•Seorang pemain wanita yang akan berperan sebagai BUNDO KANDUANG
•Seorang penyanyi laki-laki yang akan berperan sebagai PENDENDANG
•Seorang pemain laki-laki yang akan berperan sebagai DUBALANG
•Seorang pemain laki-laki yang akan berperan sebagai DATUAK BANDARO
•Seorang pemain laki-laki yang akan berperan sebagai DATUAK INDOMO
•Seorang pemain laki-laki yang akan berperan sebagai DATUAK MAKHUDUM
•Seorang pemain laki-laki yang akan berperan sebagai TUAN KADI
•Beberapa pemain wanita yang akan berperan sebagai DAYANG

PUTARAN PERTAMA
Semua pemain menari dan menyayi dalam lingkaran yang bergerak. Syair dan pantun dari nyanyian mereka mengisahkan tentang :
Kaba Cindua Mato sebagai cerita rakyat Minangkabau yang paling popular sampai saat ini.
Ucapan maaf sekiranya cerita yang disampaikan ini terdapat kekeliruan, kealfaan atau perubahan.
Namun semua itu adalah wajar, karena setiap kaba punya berbagai variasi dan versi. Namun semua itu tidaklah mengurangi kaba Cindua Mato sebagai cerita rakyat.
(Lingkaran yang bergerak ini mengingatkan kita pada “Randai”, suatu permainan rakyat Minangkabau, yang menggabungkan unsur-unsur tari, nyanyi dan drama.)
Lingkaran tersebut dapat pula digantikan dengan indang suatu bentuk teater rakyat Minangkabau yang lain, menyanyi dan menari dengan memakai rebana kecil.
Setelah semua pemain kembali ke tempatnya, Cindua Mato segera berdiri dan berteriak pada orang-orang yang gelisah menunggu.
CINDUA MATO: Jangan terlalu gelisah. Tunggulah! Permainan ini pasti dilanjutkan. Lakonmu ini akan memenangkan pertandingan. Duduklah di sana dengan sopan. Nanti kuantar kalian pulang.
DANG TUANKU : (Berdiri dan mulai mengatur langkah untuk suatu permainan silat melawan Cindua Mato) Kali ini kau pasti kena!
CINDUA MATO : (Melawan Dang Tuanku dengan beberapa jurus silat tapi tak mengenai sasaran) Langkah berikutnya Dang Tuanku pasti roboh.
Keduanya terus bermain silat. Seorang dubalang datang tergesa.
DUBALANG : Dang Tuanku.
DANG TUANKU : Tunggu. (Terus meladeni serangan-serangan Cindua Mato)
CINDUA MATO : (Berhenti menyerang) Kabar penting, Dubalang?
DUBALANG : Ya.
CINDUA MATO : Tunggulah. Sebentar lagi permainan ini akan kuselesaikan.
DANG TUANKU : Kabar apa, Dubalang.
DUBALANG : Penting. Kalau diizinkan sebaiknya di bawah empat mata.
CINDUA MATO : O, terlalu penting urusan kerajaan hari ini. Permisi Dang Tuanku.
DANG TUANKU : Jangan pergi dulu. Tidak terlalu rahasia antara kita berdua. Dubalang. Sampaikan.
Dubalang membisiki Dang Tuanku . Dang Tuanku terkejut sekali dan marah.
DANG TUANKU : Ah! Penghinaan! (bergegas keluar)
CINDUA MATO : Apa sebenarnya yang terjadi. Katakan.
DUBALANG : Puti Bungsu akan dikawinkan dengan Imbang Jaya, putra mahkota raja Tiang Bungkuk dari Sungai Ngiang.
CINDUA MATO : Puti Bungsu?
DUBALANG : Apakah ada dua nama Puti Bungsu, Cindua Mato?
CINDUA MATO : Tapi setahuku, Puti Bungsu calon istri Dang Tuanku.
DUBALANG : Makanya saya memberi tahu Dang Tuanku.
CINDUA MATO : Kapan waktu perkawinannya?
DUBALANG : Tiga hari menjelang purnama, sebelum musim ini berganti.
CINDUA MATO : Apa mungkin?
Dang Tuanku datang tergesa membawa sebilah pedang yang panjang.
DANG TUANKU : Rambutnya tak boleh disentuh hiasan pengantin! Dia harus dijemput dan dibawa ke sini! Cindua Mato! Siapkan angkatan perang kita!
CINDUA MATO : Perang?
DANG TUANKU : Ya. Perang!
CINDUA MATO : Akibatnya lebih menyusahkan, Dang Tuanku.
DANG TUANKU : Tidak akan susah kita menanggung akibatnya daripada sakit menerima penghinaan.
CINDUA MATO : Kalau penghinaan yang datang, harus dibalas juga dengan penghinaan.
DANG TUANKU : Tidak. Pembalasannya hanya satu. Perang! Cindua Mato. Kita akan memberi hadiah dan restu pada setiap perkawinan, karena kita menghormati ke manusia. Tapi kalau yang kawin itu …. (meledak marahnya) kita harus hadiahkan sebuah penyerbuan besar. Katakan pada semua rakyat Minangkabau, perhelatan mamakku Rajo Mudo kita hadiri dengan membawa senjata dan teriakan peperangan.
CINDUA MATO : Tidakkah sebaiknya dikatakan dulu pada Bundo Kanduang dan dirundingkan dengan Basa Ampek Balai.
DANG TUANKU : Semuanya pasti akan setuju karena merasa sama-sama terhina!
CINDUA MATO : Dang Tuanku. Semua orang tahu Puti Bungsu dijodohkan denganmu sejak masih kecil. Bagaimana mungkin seorang mamak seperti Rajo Mudo mau memungkiri janjinya. Apalagi Rajo Mudo begitu memuliakan Bundo Kanduang sebagai kakaknya.
DANG TUANKU : Tapi kenyataannya perkawinan itu dilaksanakan. Bukankah hal ini untuk menghina kita, menghina semua perjanjian, menghina Bundo Kanduang itu sendiri!
CINDUA MATO : Barangkali ada jalan lain yang lebih baik daripada berperang, kalau hal ini dirundingkan dengan Bundo Kanduang lebih dulu.
DANG TUANKU : Arang telah dicorengkan ke dahi kita. Cindua Mato! Apakah kau takut turun ke gelanggang!
CINDUA MATO : Menyiapkan angkatan perang tidak begitu sulit, selagi kita masih punya uang. Tapi dapatkah Dang Tuanku mengingat kembali berapa jumlah prajurit kita yang mati di Padang Sibusuk melawan tentara Majapahit dulu?
DUBALANG : Seratus lima puluh ribu prajurit dan pemuda sukarela. Sepuluh ribu enam ratus tiga pasukan khusus dan tiga puluh dua perwira senior berotak cemerlang.
CINDUA MATO : Siapa yang sebenarnya terhina. Dang Tuanku.
DANG TUANKU : Kita! Sekaligus negara!
CINDUA MATO : Apakah Puti Bungsu lambang kehormatan bagi kerajaan? Sehinga seluruh rakyat harus memikul tanggung jawab?
DANG TUANKU : Ya.
CINDUA MATO : Tidak. Itu hanya persoalan pribadi Dang Tuanku.
DANG TUANKU : Tidak. Kini menjadi persoalan kerajaan. Dubalang. Direbutnya Puti Bungsu oleh Imbang Jaya, apakah kau tidak merasa terhina sebagai Rakyat Minangkabau? Padahal kau tahu Puti Bungsu calon istri dari Putra Mahkota?
DUBALANG : Sangat terhina! Bahkan saya bersedia mati untuk membalaskan penghinaan ini!
DANG TUANKU : Cindua Mato. Kau dengar bukan?
DUBALANG : Dan saya bersedia dikirim untuk merebut Puti Bungsu.
DANG TUANKU : Cukup Dubalang. Kesetiaanmu memang pantas ditiru.
CINDUA MATO : Aku mengerti. Tapi kalau kita bertanya pada rakyat, manakah yang akan dipilihnya - berperang untuk merebut Puti Bungsu atau bekerja keras untuk kemakmuran dan kemajuan negeri ini - semua pasti memilih yang kedua.
DANG TUANKU : Bagi mereka yang mengerti dengan harga diri dan kehormatan akan memilih yang pertama.
DUBALANG : Saya memilih keduanya.
DANG TUANKU : Belum waktumu bicara, Dubalang!
CINDUA MATO : Dia juga punya hak bicara. Dang Tuanku.
DANG TUANKU : Hanya untuk mendengar dan menjawab kalau ditanya.
CINDUA MATO : Tapi dia juga punya pikiran untuk menentukan pendiriannya.
DANG TUANKU : Pendirian begitu bukan bagi Dubalang! Bukan urusannya.
CINDUA MATO : Bukan urusannya, memang. Urusan merebut Puti Bungsu tentu juga bukan urusannya. Hanya urusan Dang Tuanku sendiri.
DANG TUANKU : Kau selalu mencegah apa yang akan aku lakukan. Aku tahu Cindua Mato! Kau tidak senang menjadi orang bawahan di istana ini. Biarpun kita bersaudara seayah, tapi berlainan ibu, aku punya alasan untuk meragukanmu.
CINDUA MATO : Apa ukuran bagi kesetiaan? Kalau memang untuk kepentingan semua kehidupan rakyat, aku bersedia melakukan segalanya!
DANG TUANKU : Jangan pakai kata rakyat. Kau tidak berhak mengatasnamakannya.
CINDUA MATO : Jangan gunakan rakyat untuk kepentingan pribadi. Merebut Puti Bungsu bukanlah persoalan rakyat.
DANG TUANKU : Tapi persoalan negara! Penghinaan pada kerajaan ini lewat diriku.
CINDUA MATO : Jangan gunakan kata negara, kalau seorang putra mahkotanya khawatir terhadap kesetiaan calon istrinya.
DANG TUANKU : Cindua Mato!
DUBALANG : O, telah terjadi pertengkaran antara dua saudara …
DANG TUANKU : Diam Dubalang! Belum waktumu bicara.
CINDUA MATO : Dang Tuanku. Saya pun bisa emosi dalam pembicaraan seperti ini. Izinkan saya meninggalkan tempat ini. Besok saja dilanjutkan.
DANG TUANKU : Tunggu dulu. Tugas yang kuberikan belum kau jawab untuk disanggupi.
CINDUA MATO : Apa gunanya aku diberi tugas kalau kesetiaanku diragukan?
DANG TUANKU : Ingat Cindua Mato. Nasibmu ditentukan dalam keadan seperti ini.
CINDUA MATO : Tanpa boleh memberikan pertimbangan-pertimbangan
DANG TUANKU : Pertimbangannya di sini (menyerahkan pedang)
CINDUA MATO : Apakah Dang Tuanku tidak menyangsikan aku, kalau sekiranya aku gagal?
DANG TUANKU : Kegagalan milik semua orang, tapi bagimu penentuan hak selanjutnya apakah kau masih pantas disebut kesayangan Bundo Kanduang, atau Bujang Kacinduan.

0 Response to "NASKAH DRAMA CINDUA MATO"