Kerangka Berfikir Ilmiah

Definisi.
Pertama yang harus didefinisikan adalah kata definisi itu sendiri. Mengapa demikian? Tanpa kita sadari secara penuh, sebenarnya “Definisi” adalah unsur pengetahuan yang kita butuhkan. Baik dalam kehidupan Ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari kita sering berurusan dengan “Definisi".
Lalu apa defenisi dari Defenisi? Secara sedrhana defenisi adalah Batasan / Membatasi sesuatu sehingga kita dapat memiliki pengertian terhadap sesuatu atau memberikan pengertian/penjelasan tentang sesuatu hal dan disertai dengan batasan-batasan sehingga hal tersebut menjadi jelas. Karena teori ini mengharuskan adanya “Batas” dalam sebuah objek yang hendak didefinisikan, secara langsung juga membutuhkan sesuatu yang menjadi karakteristiknya. Apa karakteristik itu? Secara singkat dapat kita sebut sebagai Genera (Jenis) dan Difffferentia (Sifat pembeda). Dapat disimpulkan bahwa inti dari definisi yang pertama ini adalah menjelaskan sesuatu yang terbatas. Konsekwesinya, jika sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat didefinisikan.
Jika kita mencoba mendefinisikan judul diatas (kerangka berpikir ilmiah) maka kurang lebih seperti berikut:
Kerangka adalah sesuatu yang menyusun atau menopang yang lain, sehingga sesuatu yang lain dapat berdiri, dan Berpikir merupakan gerak akal dari satu titik ke titik yang lain. Atau bisa juga gerak akal dari pengetahuan yang satu ke pengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama kita adalah ketidaktahuan (kita tahu bahwa kita sekarang tidak mengetahui sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah tahu (kemudian kita mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar kemudian ada juga yang mendefinisikan berpikir sebagai gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu. Tapi yang penting (inti pembahasannya) adalah adanya gerak akal.
Ilmiah adalah sesuatu hal/penyataan yang bersifat keilmuan yang sesuai dengan hukum-hukum ilmu pengetahuan. Atau sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan, dengan menggunakan metode Ilmiah (Prosedur atau langkah-langkah sistematis yang perlu diambil guna memperoleh pengetahuan yang didasarkan atas uji coba hipotesis serta teori secara terkendali). Satu hal yang menjadi garis bawah adalah “kebenaran ilmiah tidak mutlak, melainkan bersifat sementara, relatif, metodologis, pragmatis, dan fungsionalis, dan pasti Epistemologis”. Dengan demikian dalam kacamata dunia Ilmiah berdasarkan metode ilmiah, ilmu pengetahuan sebagai hasil fikir manusia akan terus bertambah tanpa mengenal batas akhir. Permasalahan Berfikir Ilmiah sudah tentu tidak terlepas dari kajian filsafat ilmu, karena ia merupakan bagian dari pengetahuan ilmiah. Sebelum memasuki pembahasan mendalam penting kiranya saya jelaskan secara singkat apa itu filsafat? (Mengingat kajian kita nantinya akan banyak bersinggungan dengan keilmuan ini).
Filsafat atau Falsafah (Arab) Pilosopia (Latin) bada dasarnya berasal dari bahasa Yunani “Philo” yang berarti cinta dan “Sophia” yang berarti arif, bijaksana / pandai. Secara bahasa semula Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan, kepandaian. Namun, cakupan pengertian “Sophia” yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu “Sophia” tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat dll.

Pembahasan.
Seorang filosof pada dasarnya bukan sosok yang menakutkan / kafir / tidak familier, karena tujuan awal dari filsafat sendiri adalah Love of Wisdom sehingga orang yang berfikir filsafat hakekatnya adalah pencari kebijaksanaan & mencintainya. Istilah ini konon pertama di perkenalkan oleh pytagoras.
Jika diatas kita sudah membahas makna Filsafat secara bahasa, sekarang bagaimana pemaknaan filsafat itu menurut para filosof besar? Plato; Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran asli. Aristoteles; Filsafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalam ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika.  Al-Farbi; Filsafat adalah ilmu pengetahuan ttg alam wujud, bagaimana hakekat yang sebenarnya. Hasbullah Bakry;  Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam.
Disini penulis akan menitik beratkan pada tradisinya, bukan sekedar pengertiannya. Dari sekian filosof yang kita kenal baik didunia barat maupun timur, ada satu tradisi yang hampir-hampir menjadi benang merah ketika menyelesaikan sesuatu sdengan jalan filosofis, yaitu tradisi berfikir. Filsafat yang mempunyai arti sebagai berpikir secara radikal, menyeluruh dan sistematis. Maksudnya, dengan berpikir radikal (bhs Yunani radix=akar) atau sampai ke akar-akarnya bukan cuman dlohirnya, sehingga melihat sesuatu secara menyeluruh dan tersusun sehingga diharapkan kita dapat lebih arif dalam melihat persoalan. Ketika dilekatkan dengan kata ilmu maka berarti secara radikal, menyeluruh, komperhensif, diskriptif dan sistematis terhadap ilmu.
Menurut Jujun S. Suriasumantri filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Lebih lanjut Jujun mengatakan bahwa semua sistem kefilsafatan selalu berkisar pada masalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi karena, ketiga sub sistem tersebut selalu berkaitan satu sama lain. Ontologi ilmu terkait dengan Epistemologi ilmu, dan Epistemologi ilmu terkait dengan Aksiologi ilmu.
Atau secara sederhana dapat kita katakan bahwa: Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang sumber pengetahuan berikut kevalidan sebuah sumber. Kedua Ontologi, membahas tentang hakikat sesuatu dalam hal eksistensi dan esensi. Atau dengan kata lain keberadaan dan keapaan sesuatu. Ketiga aksiologi, membahas tentang kegunaan sesuatu. Dalam materi ini saya akan lebih banyak membahas aspek Epistemologi, yang lainnya hanya untuk memperjelas saja.
Menurut William S. Sahakian; Epistemologi merupakan “pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.
Secara Bahasa / Lughowi, Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Istilah yang sama dalam bahasa yunani adalah Genosis, sehingga dalam sejarahnya istilah Epistemologi ini pernah juga disebut “Genoseologi”.Pengetahuan dalam hal ini ada beberapa persoalan pokok yang secara garis besar terbagi dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) versus hakikat (noumena/essence): Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?. Kedua, tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi: Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang salah?. (Ringkasnya; Bagaimana kita mengetahui atau memperoleh pengetahuan dan bagaimana menguji kebenaran pengetahuan tsb / Evaluatif dan Kritis).
Lantas apa itu pengetahuan? Ada yang mengatakan pengetahuan adalah informasi atau ide, yang telah diterima sebagai fakta yang benar, bisa jadi itu diperoleh dengan pengindraan atau kegiatan empirik secara langsung maupun melalui proses penalaran rasional terhadap ide-ide yang telah ada dalam alam pikir manusia. Dikemudian hari orang yang lebih menekankan kegiatan empirik untuk memperoleh pengetahuan dikatagorikan dalam penganut faham Empirisme sedangkan yang mengandalkan pada rasionalitas disebut sebagai penganut faham Rasionalisme sebagaimana sejarah Filsafat Barat mencatat; Ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”, “form”, sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan mengesampingkan peran “indera”. Kedua, adalah realism atau empiricism (Aristoteles), yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan peran “indera” sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut lahir pada zaman Yunani antara tahun 423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi.
Selanjutnya dalam sejarah filsafat Islam tercatat aliran epistemologi yang menekankan pentingnya integrasi metode rasionalism dan empiricsm yang melahirkan metode eksperimen. Dalam metode ini pertentangan antara penalaran rasio dan empiri seperti yang dianut Barat dihilangkan. Metode ini dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, yaitu ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai titik kulminasi antara abad IX dan XII Masehi. Kemudian diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) serta dimantapkan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (1561-1626). Fakta ini diperkuat oleh H.G. Wells yang menyatakan bahwa “jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah, maka orang Muslim adalah bapak angkatnya”. Dalam perjalanan sejarah maka lewat orang Muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya, dan diakui telah memberi sumbangan besar bagi lahirnya renaissans dalam peradaban Barat (Insya Allah akan dibahas nanti, jika memungkinkan, jika tidak ya tetap bisa dipelajari & bisa dibaca).
                Setelah mengetahui pokok dasar dari epistemologi adalah “Bagaimana kita mendapat pengetahuan” perlu kiranya kita mengetahui sumber-sumber pengetahuan. Secara umum ada beberapa mazhab pemikiran yang berusaha menawarkan sumber-sumber pengetahuan sebagai mana berikut:

1. Skriptualisme
Skriptualisme adalah sebuah sistem berpikir yang dalam menilai kebenaran digunakan teks kitab. Asumsi dasar yang terbangun adalah teks dalam kitab mutlak adanya, oleh karenanya dalam penilain kebenaran harus sesuai dengan teks kitab. Mempertanyakan teks kitab sama saja dengan mempertanyakan kemutlakan. Biasanya kaum skriptual adalah orang yang beragama secara sederhana. Maksudnya, peran akal dalam wilayah keagamaan sangat sempit bahkan hampir tidak ada. Akal dianggap terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya kembali lagi ke teks kitab. Namun dalam wilayah epistemologi, skriptualisme memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
·         Tidak memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tersebut. Kalau yang mutlak adalah teks kitab, maka pertanyaannya “Bagaimana caranya diantara banyak kitab menilai bahwa kitab inilah yang benar”. Kalau kita langsung percaya, maka kitab lain juga harus kita langsung percaya. Nah, kalau kontradisi, kitab yang mana benar? Artinnya, kelemahan pertamanya adalah butuh sesuatu dalam membuktikan kebenaran sebuah kitab.
·         Dari kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: terjebak pada subjektifitas. Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantung pada umatnya. Kebenaran Al Qur’an, walau berbicara universal, hanya dibenarkan oleh umat Islam. Umat Nasrani, Budha dan sebagainya meyakini kitab mereka masing-masing. Sementara kita tidak dapat memaksakan kitab kita pada umat lain sebagaimana kita pun pasti tidak akan menerima teks kitab umat lain
·         Kelemahan ketiga adalah teks adalah “tanda” atau simbol yang membutuhkan penafsiran. Kitab tidak bisa berinteraksi langsung, tetapi melewati proses penafsiran. Sementara dalam penafsiran sangat tergantung kualitas intelektual dan spiritual seseorang. Makanya kemudian, adalah wajar jika sebuah teks dapat dimaknai berbeda. Sebagai contoh, surah 80:1

 “Alif laam miin”
Teks tidak dapat membuktikan pencipta

2. Idealisme Platonian
Pemikiran Plato dapat digambarkan kurang lebih seperti ini. Sebelum manusia lahir dan masih berada di alam ide, semua kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah memiliki pengetahuan. Ketika terlahir di alam materi ini, pengetahaun itu hilang. Untuk itu yang harus manusia lakukan kemudian adalah bagaimana mengingat kembali. Pengetahuan yang kita miliki hari ini kemarin dan akan datang sebetulnya (dalam perspektif teori ini) tidak lebih dari pengingatan kembali. Teori ini juga sering disebut sebagai teori pengingatan kembal. Namun sebagai alat penilaian, teori ini memiliki beberapa kekurangan.
·         Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah di alam ide
·         Turunan dari yang pertama, kalaupun (jadi diasumsikan teori ini benar) ternyata sebelum lahir kita telah memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah pengetahuan kita saat ini selaran dengan pengetahuan kita sewaktu di alam ide. Kalau dikatakan selaras, apa yang dapat dijadikan bukti.
·         Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia belum dilahirkan), dan mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau dikatakan material kita terlalu kotor untuk menampung ide, maka mengapa saat ini kita bukan saja memiliki ide, tapi bahkan mampu mengembangkan ide disaat material kita justru semakin kotor.

3. Empirisme
Doktrin empirisme berlandaskan pada pengalaman dan persepsi inderawi. Oleh karena itu, kebenaran dalam doktrin ini adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Bangunan sains kita pada hari ini sangat kental nuansa empirisnya. Tetapi empirisme memiliki kekurangan sebagai berikut:
·         Indera terbatas mata misalnya memiliki daya jangkau penglihatan yang berbeda. Begitupun telinga dan indera lainnya. Olehnya indera hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat terbatas atau material pula. Makanya fenomena penyembahan dan jatuh cinta misalnya, tidak dapat dijawab dengan tepat oleh kaum empiris.
·         Indera dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau pembiasan benda pada dua zat dengan kerapatan molekul berbesa. Ketika kita masukkan pensil ke dalam gelas berisi air kita akan melihatnya bengkok karena kerapatan molekul air, gelas dan udara sebagai medium berbeda. Padahal jika kita periksa ternyata pensil tetap lurus.

4. Kaum Perasa (Intuisi)
Kaum perasa selalu menjadikan perasaannya sebagai tolok ukur kebenaran. Ciri khas mereka adalah “Yakin saja”. Mereka menganggap dirinya sebagai orang yang paling mampu mendengar suara hatinya, dan menjadikan suara hatinya sebagai ukuran kebenaran. Banyak orang beragama seperti ini padahal sistem berpikir macam ini memiliki kekurangan dalam pembuktian kebenaran sebagai berikut:
·         Tidak jelas yang didengar itu adalah suatu hati atau justru sekedar gejolak emosional, atau bahkan (dengan pendekatan orang beragama) justru bisikan setan. Jangan sampai hanya gejolak emosi lantas dianggap suara hati, atau bisikan setan. Nah persoalannya bagaimana membedakannya?
·         Kalau pun didengar adalah suara hati, maka akan subjektif. Karena hati orang berbeda. Jika subjektif, maka yang didapatkan adalah relativitas, bukan kemutlakan.
·         Tidak punya landasan mengapa kita mesti mengikuti suara hati. Kalau akal menjustifikasi penggunaan hati berarti tidak konsisten. Tetapi kalau menggunakan hati sebagai alasan mengapa harus mengikuti suara hati, maka kembali ke point sebelumnya.

Selanjutnya dalam kacamata Epistemologi ada beberapa istilah yang penting untuk diketahui seperti Skeptisme; Dalam bahasa yunaninya adalah Skeptomai maknanya saya berfikir dengan seksama atau saya lihat dengan teliti, kemudian diturunkan arti yang dihubungkan dengan kata tersebut yaitu “Saya Meragukan”. Adalah Naif jika ada orang yang tidak pernah meragukan sesuatu apapun, dengan meragukan maka proses verifikasi akan terjadi. Kemudian Subjektivisme; Mengandaikan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita ketahui dengan pasti ada dalam diri kita sendiri & kegiatan sadar kita. Dengan kata lain pengetahuan yang bukan AKU adalah pengetahuan yang tidak langsung. Sehingga muncul apa yang disebut dengan The Problem of Bridge (Soal Jembatan Pengetahuan), yaitu Bagaimana orang dapat keluar dari pikirannya sendiri dan mengetahui dunia objektiv diluar kita? Bagaimana kita bisa tau bahwa gagasan itu memang sesuai dengan Objeknya sendiri (Bukan cuman ilusi kita) Relativisme; Mengingkari adanya dan diketahuinya kebenaran yang Objektiv dan Universal oleh manusia (Kebenaran yang ada dimanusia adalah kebenaran yang bersifat relatif)
Mana yang Rasional..? Menurut Kang Jalal, sesutu kadang dianggap tidak rasional karena tiga hal. Pertama tidak empiris. Sesuatu yang tidak dicerna indra manusia biasanya dianggap tidak rasional. Hal ini umumnya menghinggapi orang yang sangat empiris. Kedua menyimpang dari rata-rata. Sewaktu perang Khaibar, kaum muslim menundukkan benteng terakhir kaum Yahudi. Para sahabat sejumlah 50 laki-laki yang kuat tidak mampu mengangkat pintu benteng itu, tapi Sayyidina Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini dianggap tidak rasional, padahal hal ini rasional hanya tidak seperti kebanyakan. Ketiga tidak tahu. Ketidaktahuan adalah kelemahan yang orang berusaha tutupi dengan penisbahan stigma irasional.
Rasionalisme tidak menutup diri dari teks, pengalaman atau persepsi inderawi, juga perasaan. Akan tetapi kaum rasionalis menggunakan akal dalam menilai semua yang ditangkap oleh bagian diri kita. Namun bagi sekelompok orang, akal tidak dapat digunakan untuk menilai kebenaran. Alasannya, akal terbatas. Artinya penggunaan akal sangat dekat dengan mengakal-akali sesuatu.
Memang benar bahwa akal terbatas dibanding PenciptaNya (selanjutnya dibahas dalam materi NDP / Dasar-Dasar Kepercayaan), akan tetapi akal sebagai potensi untuk tahu, dimana batasnya? Hukum akal menyatakan bahwa sebab selalu mendahului, lebih kuat dari akibat. Jadi kesadaran akal sebagai ciptaan atau akibat pasti memiliki keterbatasan dihadapkan dengan penciptaNya. Cuma persoalannya adalah sejauh mana kita gunakan akal kita untuk mengetahui.
Dalam kacamata seorang filsuf bahwa manusia adalah binatang berakal. Secara Biologis manusia memiliki syarat-syarat kebinatangan seperti respirasi, eksresi, regenerasi dan sebagainya. Bedanya Cuma satu, akal. Artinya manusia yang tidak menggunakan akalnya bisa lebih buruk daripada binatang.
Kadang orang merancukan antara akal dan otak. Katanya, otaklah yang berpikir. Untuk menjawab hal ini sederhana. Seandainya otak yang berpikir, maka tentu saja kerbau adalah makhluk yang cerdas karena volume otaknya lebih besar dari manusia. Ternyata kedokteran modern menemukan bahwa dalam otak terdapat sel yang disebut neuron. Neuron inilah yang mengkoordinasikan kerja syaraf dalam tubuh dimana tubuh disisi kanan diatur melalui tulang belakang menuju ke otak kiri begitupun sebaliknya. Artinya otak tidak ada hubungannya dengan akal. Otak tidak lebih dari sebuah organ seperti jantung, paru-paru dan sebagainya.

Dalam diri kita ada beberapa fakultas pengetahuan, diantaranya:
·         Indera, yang mencakup warna, bentuk, bunyi, bau,dam sebagainya. Perbedaan dengan empirisme, empirisme menjadikan indera sebagai tolok ukur sedang rasionalisme menjadikan indera sebagai sumber pengetahuan namun bukan utama.
·         Khayal. Hasil persekutuan ide yang tidak memiliki realitas eksternal. Misalnya ide manusia dan monyet yang kesemuanya memiliki realitas eksternal, namun jika digabungkan menjadi kera sakti yang hanya memiliki realitas internal (dalam ide) tapi tidak direalitas eksternal.
·         Wahmi. Berkaitan dengan perasaan. Benci, cinta, rindu, jengkel dan sebagainya. Ilmu secara wahmiyah seperti pada kaum perasa diatas. Cuma perbedaannya wahmi masih dikontrol, bukan sebagai patokan utama.
·         Akal. Fakultas dalam diri kita yang mengontrol semuanya.


Kita telah sampai pada pentingnya akal dalam menilai sesuatu. Namun, persoalannya lagi bahwa ternyata akal pun masih bisa salah. Artinya akal tidak mutlak. Untuk menjawab hal ini, kita kembali ke pendefinisian awal. Berpikir adalah gerak akal. Hal ini berarti menandakan adanya proses. Analogi sederhana motor adalah akalnya, mengendarai motor adalah menggerakkan motor dari satu titik ke titik lain, atau berpikir. Dalam proses itu harus menaati aturan yang ada. Jika kita tidak menaati aturan seperti lampu lalu lintas dan rambu-rambu maka akan terjadi kecelakaan. Berpikir dengan tidak menaati rambu-rambu atau aturan berpikir akan menyebabkan kecelakaan berpikir.
Jadi terjadi kesalahan berpikir bukan akalnya yang salah, tapi penggunaannya yang tidak tepat. Untuk itu kita harus mengetahui bagaimana aturan berpikir yang mutlak adanya, yang itupun harus dinilai kebenarannya.
Seorang pemikir telah membantu kita menyusun prinsip atau aturan berpikir tersebut yang sering disebut logika aristotelian atau logika formal sebagai berikut:
1. Prinsip identitas. Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya sendiri. Secara matematis dirumuskan: X=X
2. Prinsip non kontradiksi. Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang berkontradiksi. Sesuatu berbeda dengan bukan dirinya. Jika diturunkan melalui rumus matematika: X ≠ X
3. Prinsip kausalitas. Prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang kebetulan. Setiap sebab melahirkan akibat.
4. Prinsip keselarasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap akibat selaras dengan sebabnya.
Kira-kira begini:
Kambing jika kita beri emas dan rumput ia tidak akan mengambil emas karena rumput = rumput dan emas = emas artinya justru prinsip ini berlaku universal.
Ketika kita menangkap sesuatu kama akal kita akan mengatakan bahwa tidak mungkin dia ada dengan sendirinya, pasti ada penyebabnya. Dan akibat pasti selaras dengan sebabnya. Tidak mungkin benih jagung menyebabkan tumbuhnya pohon kurma. Semua yang ada di alam ini adalah bukti kemutlakan prinsip yang niscaya lagi rasional ini.
Untuk menjelaskan hal itu Aristoteles juga mengembangkan metode ke dalam beberapa macam (Yang sebenarnya tidak jauh beda)
1. Induksi yaitu penalaran dari yang khusus kepada yang umum, 
2. Deduksi yaitu penalaran dari yang umum kepada yang khusus 
3. Observasi yaitu penggunaan bukti empiris, 
4. Klasifikasi yaitu penggunaan definisi. Beberapa metode yang bermunculan sesuai dengan  
   bidang keilmuannya diantaranya phytagoras mengembangkan metode perhitungan matematika, 
   democritus dengan mengajukan konsep mekanisme. Dan metode ilmiah akhirnya menjadi
   sebuah tahapan yang bervariasi sesuai dengan disiplin ilmumyang dihadapi & untuk jelasnya 
   silahkan baca buku logika atau kajian.

Pengantar Prinsip dan Bentuk Epistemologi Islam
Sesungguhnya cara berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah dari epistemologi Islam, bahkan menjadi unsur permanen dalam sistem epistemologinya. Metode eksperimen misalnya adalah produk kultur otentik dari budaya berpikir logis dengan bukti-bukti empiris yang dikembangkan sarjana-sarjana Muslim. Sejarah membuktikan dengan ditemukannya Aljabar, Manthiq, Ilmu Falak dan lain-lain di dunia Islam jauh sebelum Eropa mengenal metode eksperimen dan hanya terkungkung pada corak berpikir monolinear antara rasionalisme atau empirisme serta mengesampingkan peran ajaran agama (sekularisme).
Di samping itu, salah satu karakteristik terpenting dari epistemologi Islam serta membedakannya dari epistemologi Barat yang sekular adalah masuknya nilai-nilai ajaran normatif agama secara signifikan sebagai prinsip-prinsip dalam epistemologi Islam. Wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) diyakini memiliki peran sentral dalam memberi inspirasi, mengarahkan, serta menentukan skop kajian ke arah mana sains Islam itu harus ditujukan. Konsepsi ini mempunyai akibat-akibat penting terhadap metodologi sains dalam Islam. Sehingga tidak heran bila kemudian wahyu diletakkan pada posisi tertinggi sebagi cara, sumber dan petunjuk pengetahuan Islam.
Permasalahannya, mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada wahyu apabila dengan metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-empiris? Jawabnya adalah bahwa manusia diyakini memilki keterbatasan kemampuan untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang telah dibangun manusia terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit dipecahkan. Dalam konteks ini manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Benar, yaitu Tuhan. Tuhan telah mewahyukan kebenarannya lewat Al-Qur’an. Namun begitu, Kuntowijoyo mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang bersumber dari wahyu ini bersifat observable, dan manusia diberi kebebasan untuk mengujinya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologinya?. Dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid (iman), yaitu konsep sentral yang menekankan keesaan Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis dan aksiologis, dan bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu, berawal dan berakhir pada-Nya. Dia-lah Sang Pencipta, dengan perintah-Nya segala sesuatu dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya yang lebih jauh adalah bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an, fenomena alam sering dilukiskan sebagai tanda-tanda Allah; bahwa semua yang terjadi, pada akhirnya menuju kepada satu Pencipta yang menciptakan, Pengatur dengan suatu sistem tunggal dan Penggerak dengan keteraturan tunggal. Konsep tauhid (iman) inilah yang kemudian dipakai oleh ilmuwan muslim dalam berusaha menjabarkan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia serta dijadikan dasar sentral dari landasan epistemologi Islam.
Ok, Kaitannya dengan ini, Dr. Mahdi Gulsyani menulis
“Suatu keyakinan kokoh pada prinsip tauhid membuat sang peneliti melontarkan pandangan menyeluruh kepada alam, bukannya hanya melihat alam secara sepotong-sepotong. Hal ini membuatnya mampu menerangkan keselarasan dan tatanan dunia fisik. Tanpa suatu keyakinan kokoh pada kehadiran tatanan dan koordinasi pada alam, penelitian ilmiah tidak akan memiliki makna universal; dan paling banyak nilainya hanya bersifat sementara. Beberapa ilmuwan percaya pada keberadaan tatanan dan koordinasi pada alam, tanpa mempercayai atau memperhatikan prinsip tauhid; namun, menurut kami, tanpa mempercayai at-tauhid, tidak akan ada keterangan memuaskan tentang tatanan kosmis” (Gulsyani, 1984)
Sampai di sini ilmuwan muslim bersepakat bahwa konsep tauhidlah yang menjadi prinsip pokok dalam epistemologi Islam.
Dengan begitu semakin jelas bagi kita, bahwa epistemologi Islam berupaya untuk menunjukkan arah kepastian kebenaran, di mana epistemologi ini berangkat dan berawal dari kepercayaan, serta selanjutnya memantapkan kepercayaan itu melalui perenungan-perenungan, penalaran, pemikiran, dan pengamatan yang disandarkan pada wahyu Tuhan (Al-Qur’an dan Al-Hadits), dan diyakini bahwa kebenaran wahyu tersebut merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarat, hudan (pedoman hidup) dan rahmah (rahmat).
Sebenarnya konsep tauhid dalam Islam ini hampir serupa dengan konsep panteologisme yang dianut agama lain. Yaitu sama-sama berakar pada pandangan teosentris. Namun, paradigma teosentris yang dianut Islam berbeda dengan teosentris agama lain dengan alasan bahwa sistem tauhid memiliki arus/ balik kepada manusia. Paradigma teosentris Islam (iman) selalu dikaitkan dengan amal manusia. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pusat dari perintah zakat – misalnya – adalah iman kepada Allah, tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dalam Islam, konsep teosentris bersifat humanistik. Artinya, manusia harus memusatkan diri kepada Allah (iman), tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri (amal). Dalam formulasi lain, Islam mengenalkan konsep dualisme manusia; sebagai hamba (abdun) yang menyembah Penciptanya (beriman), dan sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi yang harus senantiasa bersosialisasi dengan jenis dan lingkungannya (beramal).
Lantas, apabila prinsip epistemologi Islam adalah tauhid, bagaimanakah bentuk kongkrit dari epistemologi Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa, pada awalnya diakui jika epistemologi Islam dipengaruhi oleh epistemologi yang berkembang di Yunani. Aliran pokok yang diikuti oleh ilmuwan muslim adalah aliran rasionalism yang dikembangkan oleh Plato (423-347 SM) dan aliran realism yang dikembangkan oleh Aristoteles (384-322). Namun karena didapati antara keduanya saling memposisikan aliran “dirinyalah” yang paling benar, maka ilmuwan muslimpun mencari alternatif pemecahannya dengan cara menggabungkan antara keduanya sehingga lahirlah metode eksperimen.
Metode ini telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim antara abad ke-9 dan ke-12 Masehi, diantaranya adalah Hasan Ibn Haitsam – biasa disebut Alhazen di Eropa –yang melahirkan karya tentang teori-teori fisika dasar, Jabir Ibn Hayyan atau Al-Jabar – biasa disebut Geber di Eropa – yang lahir pada pertengahan abad ke-8, melahirkan karya tentang kimia secara konfrehensif, dan masih banyak ilmuwan lainnya.
Selain metode eksperimen di atas, Islam mengakui intuisi sebagai salah satu bentuk epistemologinya. Terlepas dari kontroversi yang digencarkan ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi tidak dapat dijelaskan melalui proses logis-empiris, yakni tanpa pengamatan (observasi), tanpa deduksi (logis), bahkan tanpa spekulasi (rasional), ilmuwan muslimpun meyakini intuisi sebagai sumber kebenaran paling tinggi. Dan sumber kebenaran ini hanya berada di bawah otoritas wahyu Tuhan (al-Qur’an), termasuk tradisi kenabian (Al-Hadits).
Selain dinisbahkan kepada wahyu, metode intuisi sering juga disebut dengan istilah lain yang subtansinya relatif sama, di antaranya adalah ilham (kasfy). Terminologi tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara pengetahuan intuitif yang berbentuk wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang diterima oleh Nabi, dengan pengetahuan intuitif yang berbentuk ilham yang diterima oleh manusia. Pembedaan tersebut adalah implikasi dari keyakinan Islam bahwa kemampuan pengetahuan antara Nabi dan manusia biasa berbeda.
Pada perkembangan epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain seperti nadzr, tadabbur, tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra’, qiyas, tamsil, ta’wil, dzati, hissi, khayali, ‘aqli, syibhi dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga aliran penting yang mendasari teori pengetahuannya. Yaitu, 
(1) pengetahuan rasional, 
(2) pengetahuan inderawi, dan 
(3) pengetahuan kasfy lewat ilham atau intuisi.

0 Response to "Kerangka Berfikir Ilmiah"